Setya Novanto diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun, dari nilai proyek e-KTP yang jumlahnya Rp 5,9 triliun.
Upaya pertama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka, dianulir hakim tunggal Cepi Iskandar, dalam sidang praperadilan pada 29 September 2017.
Saat itu hakim memutuskan, KPK tidak bisa menggunakan bukti-bukti terkait tersangka sebelumnya untuk menjerat Novanto. Alasannya, karena penetapan tersangka tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara ketentuan perundang-undangan tentang KPK, KUHAP, serta standar operasional dan prosedur KPK.
Mulai Jumat 10 November 2017, Setya Novanto kembali berstatus tersangka. Itu adalah kali keduanya, KPK memperkarakan Ketua DPR RI tersebut dalam kasus megakorupsi e-KTP.Â
KPK menduga adanya tindak pidana korupsi dengan tujuan mengunutngkan diri sendiri dan orang lain yang dilakukan oleh Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 2009-2014, bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus, Irman, dan Sugiharto.
KPK mengaku punya amunisi seperti bukti-bukti baru sebagai syarat bukti permulaan. Strategi baru pun dilakukan, dengan cara mengulang proses penyelidikan terhadap Setya Novanto.Â
KPK meyakini, kali ini tidak akan ada celah bagi Setya Novanto. Lembaga antikotupsi itu juga telah mempelajari putusan praperadilan Hakim Cepi yang memenangkan kubu politisi Golkar tersebut.
Penyidik KPK sudah memeriksa beberapa saksi dari unsur anggota DPR, kementerian, dan pihak swasta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H