Bayangkan ini: kamu sedang bersantai, menggulir lini masa media sosial, lalu menemukan unggahan seseorang yang membagikan pemikirannya tentang suatu isu. Tanpa berpikir panjang, jari-jarimu mengetik komentar pedas---entah karena merasa tidak setuju, jengkel, atau hanya sekadar ingin ikut-ikutan meramaikan diskusi. Setelah itu, kamu melanjutkan hari seperti biasa, tanpa benar-benar memikirkan bagaimana komentar tersebut berdampak pada orang lain.
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang langka. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang untuk berbagi dan berinteraksi, justru sering kali dipenuhi ujaran kebencian, kritik pedas, hingga penghakiman yang dilakukan tanpa pertimbangan matang. Mengapa kita begitu mudah memberikan komentar negatif dan menghakimi di dunia maya? Apakah ini murni sifat manusia, atau ada faktor lain yang membuat kita lebih berani dan tak terkendali saat berada di balik layar?
Ilusi Kekuasaan di Dunia Maya
Salah satu alasan utama mengapa seseorang lebih mudah mengeluarkan komentar buruk di media sosial adalah karena adanya perceived power atau ilusi kekuasaan. Saat seseorang menulis komentar di dunia maya, ada perasaan superioritas yang muncul. Ia merasa memiliki kendali atas suatu opini dan dapat menyuarakannya tanpa batasan. Tidak ada tatapan mata yang menuntutnya berpikir dua kali sebelum berbicara, tidak ada ekspresi wajah lawan bicara yang menunjukkan ketidaknyamanan, dan tidak ada interaksi langsung yang bisa memperlambat impuls untuk menghakimi.
Ilusi kekuasaan ini diperkuat oleh fitur-fitur media sosial yang memungkinkan siapa saja untuk menyampaikan pendapat tanpa perlu mempertanggungjawabkannya secara langsung. Kita sering kali lupa bahwa di balik layar ada manusia lain yang membaca, merasakan, dan mungkin terluka oleh komentar yang kita tinggalkan.
Efek Distorsi Sosial dan Kurangnya Akuntabilitas
Jika kamu berbicara kasar pada seseorang di dunia nyata, ada konsekuensi sosial yang harus dihadapi. Mungkin orang tersebut akan langsung menunjukkan ekspresi terluka, membalas dengan argumen yang membuatmu berpikir ulang, atau bahkan menegurmu secara langsung. Namun, di media sosial, situasinya berbeda.
Dunia maya menciptakan jarak emosional yang membuat kita lebih sulit merasakan dampak dari kata-kata kita. Fenomena ini disebut dengan online disinhibition effect, di mana seseorang merasa lebih bebas untuk berbicara tanpa batasan karena tidak ada konsekuensi langsung yang bisa dirasakan secara fisik atau emosional.
Kurangnya akuntabilitas juga membuat kita lebih berani dalam menyampaikan opini negatif. Jika di dunia nyata orang bisa mendapatkan teguran langsung atau bahkan dipandang buruk oleh lingkungan sosialnya karena komentar tidak pantas, di media sosial seseorang bisa dengan mudah menghapus jejak, mengganti akun, atau berpindah platform begitu saja.
Ketika yang Tidak Tahu Justru Paling Lantang