Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dear Pemerintah, Buatlah Kebijakan yang Tidak Menyusahkan Rakyat

5 Februari 2025   08:29 Diperbarui: 5 Februari 2025   08:29 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
alah satu warga Surabaya yang kesulitan mencari gas melon, Rabu (4/2/2025).(KOMPAS.com/ANDHI DWI)

Ketika mendengar kata "kebijakan pemerintah," sebagian besar dari kita mungkin langsung membayangkan sederet aturan yang rumit, penuh jargon hukum, dan sering kali terasa jauh dari realitas sehari-hari. Namun, di balik setiap regulasi yang tertulis di lembaran negara, ada kehidupan nyata yang terdampak mulai dari harga beras di pasar tradisional, ongkos transportasi umum, hingga besaran pajak yang harus dibayar setiap bulannya. Inilah mengapa seruan, "Dear pemerintah, buatlah kebijakan yang tidak menyusahkan rakyat," bukan sekadar keluhan emosional, melainkan refleksi dari kebutuhan mendasar masyarakat untuk hidup lebih baik tanpa beban yang tak seharusnya mereka pikul.

Realitas di Balik Setiap Kebijakan

Kebijakan publik seharusnya menjadi alat untuk menciptakan kesejahteraan. Namun, dalam praktiknya, tak sedikit kebijakan yang justru melahirkan beban baru bagi masyarakat. Misalnya, ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM dengan dalih menyeimbangkan anggaran negara, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh mereka yang memiliki kendaraan pribadi. Harga bahan pokok ikut merangkak naik karena biaya distribusi meningkat, ongkos transportasi umum melonjak, dan pada akhirnya, daya beli masyarakat menurun.

Ini bukan sekadar soal angka di neraca keuangan negara, melainkan tentang bagaimana keputusan tersebut memengaruhi ibu-ibu yang harus mengatur ulang anggaran rumah tangga, buruh yang harus membayar ongkos lebih mahal untuk pergi bekerja, hingga pelaku UMKM yang terpaksa menaikkan harga jual produknya demi menutupi biaya produksi yang semakin tinggi. Kebijakan semacam ini sering kali terkesan diambil tanpa mempertimbangkan dampak riil di lapangan.

Mengapa Kebijakan Sering Kali Menyusahkan?

Jika ditelusuri lebih dalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan kebijakan pemerintah terkesan menyulitkan rakyat. Salah satunya adalah kurangnya riset yang mendalam sebelum kebijakan diterapkan. Banyak keputusan strategis yang diambil berdasarkan data makroekonomi tanpa memperhitungkan variabel sosial yang lebih kompleks. Padahal, angka-angka statistik tidak selalu mampu merepresentasikan realitas di lapangan.

Selain itu, keterbatasan dalam melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan juga menjadi masalah. Partisipasi publik sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Dialog antara pemerintah dan masyarakat tidak berjalan dua arah. Alih-alih mendengarkan aspirasi rakyat sebagai masukan yang berharga, pemerintah lebih sering memposisikan diri sebagai pihak yang "tahu segalanya" tanpa memberi ruang bagi kritik konstruktif. Hal ini menciptakan jarak antara pengambil kebijakan dan mereka yang terdampak langsung.

Birokrasi yang berbelit-belit juga menjadi akar permasalahan. Sistem administrasi yang kaku dan penuh prosedur membuat implementasi kebijakan di lapangan tidak efektif. Akibatnya, niat baik dalam sebuah kebijakan bisa saja hilang di tengah jalan karena pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan tujuan awal.

Ketimpangan Antara Kepentingan Ekonomi dan Sosial

Sering kali kebijakan publik lebih berfokus pada stabilitas ekonomi makro tanpa memperhatikan dampak sosial yang ditimbulkannya. Misalnya, ketika pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ketat untuk mengurangi defisit anggaran, yang terjadi justru pemotongan subsidi untuk kebutuhan dasar seperti energi, pendidikan, atau kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun