Di tengah derasnya arus modernisasi dan urbanisasi di Indonesia, ada satu masalah yang sering kali terpinggirkan dalam diskusi publik, meskipun dampaknya begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari pengelolaan sampah. Setiap pagi, ketika kota-kota besar di Indonesia terbangun, ribuan ton sampah menumpuk, tersebar di jalanan, menyesaki Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan tak jarang mengalir bersama sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan. Indonesia, dengan segala potensi alamnya, tengah menghadapi krisis sampah yang tak bisa diabaikan.
Ironisnya, krisis ini bukan hanya tentang tumpukan limbah plastik yang mengapung di perairan atau bau menyengat dari tumpukan sampah organik yang membusuk. Ini adalah cerminan dari kegagalan sistemik---mulai dari minimnya infrastruktur pengolahan yang memadai, kebijakan yang belum sepenuhnya efektif, hingga kesadaran masyarakat yang masih rendah. Namun, di balik tantangan besar ini, tersembunyi pula peluang untuk berinovasi, bertransformasi, dan membangun sistem pengelolaan sampah yang benar-benar ramah lingkungan.
Krisis Sampah di Indonesia
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan lebih dari 67,8 juta ton sampah setiap tahun. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah realitas yang menghadirkan konsekuensi serius. Sampah-sampah tersebut, terutama plastik, membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai secara alami. Lebih parahnya lagi, Indonesia menempati peringkat kedua di dunia sebagai penyumbang sampah plastik ke lautan setelah Tiongkok.
Dampaknya terasa di mana-mana. Sungai-sungai tersumbat, menyebabkan banjir di musim hujan. Lautan tercemar, mengancam kehidupan biota laut yang menjadi sumber penghidupan bagi jutaan nelayan. Bahkan, mikroplastik kini ditemukan dalam air minum dan rantai makanan, mengancam kesehatan manusia. Jika situasi ini dibiarkan, masa depan lingkungan Indonesia bisa berada di ambang krisis ekologis yang lebih besar.
Namun, masalah ini bukan hanya tentang volume sampah yang dihasilkan. Lebih dalam dari itu, ada persoalan mendasar terkait bagaimana sampah tersebut dikelola. Sistem pengumpulan, pemilahan, daur ulang, hingga pembuangan akhir masih jauh dari kata efisien. TPA di banyak kota di Indonesia, seperti TPA Bantargebang di Bekasi, sudah kelebihan kapasitas, menampung jutaan ton sampah tanpa pengolahan yang memadai.
Mengapa Pengelolaan Sampah di Indonesia Gagal?
Menggali lebih dalam, masalah pengelolaan sampah di Indonesia adalah sebuah mata rantai panjang yang saling berkaitan. Pertama, dari sisi infrastruktur, Indonesia masih kekurangan fasilitas daur ulang modern dan sistem pengelolaan limbah yang terintegrasi. Sebagian besar sampah hanya dikumpulkan, diangkut, lalu dibuang di TPA tanpa proses pemilahan atau pengolahan lanjutan.
Kedua, dari perspektif regulasi, meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Kurangnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, dan inkonsistensi kebijakan di tingkat daerah menjadi hambatan serius.
Ketiga, faktor budaya dan perilaku masyarakat juga memainkan peran besar. Budaya konsumtif yang tinggi, penggunaan plastik sekali pakai yang masif, serta minimnya kesadaran akan pentingnya pemilahan sampah di tingkat rumah tangga memperparah situasi. Edukasi tentang pengelolaan sampah yang berkelanjutan masih belum menjadi prioritas di banyak institusi pendidikan dan komunitas.