Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak hal yang sering kita anggap sebagai sesuatu yang wajar untuk dibicarakan, mulai dari pendidikan formal, nilai-nilai moral, hingga cara berinteraksi dengan sesama. Namun, ada satu topik yang masih sering kali dianggap tabu dan cenderung dihindari dalam perbincangan, yaitu pendidikan seks atau sex education.
Ketika kata "seks" disebut, sebagian besar masyarakat kita langsung mengaitkannya dengan hal yang berbau vulgar, tidak senonoh, atau bahkan dianggap melanggar norma agama dan budaya. Padahal, pendidikan seks tidak selalu tentang aktivitas seksual, melainkan lebih kepada pemahaman mengenai kesehatan reproduksi, batasan pribadi, etika dalam hubungan sosial, serta bagaimana cara menjaga diri dari berbagai risiko yang berkaitan dengan seksualitas.
Namun, mengapa hingga saat ini pendidikan seks masih menjadi sesuatu yang sulit diterima oleh masyarakat kita? Apakah benar pendidikan seks hanya akan membawa dampak negatif? Ataukah ini hanya soal ketakutan yang lahir dari kurangnya pemahaman?
Budaya dan Dogma yang Mengakar Kuat
Jika kita menelisik lebih dalam, ketabuan terhadap pendidikan seks sebenarnya berakar dari budaya dan nilai-nilai yang telah diwariskan secara turun-temurun. Sebagai negara dengan latar belakang budaya yang kuat dan masyarakat yang mayoritas religius, pembicaraan tentang seks sering dianggap tidak pantas, apalagi jika dilakukan di ruang publik atau dalam lingkup keluarga.
Sejak kecil, banyak anak diajarkan bahwa topik ini adalah sesuatu yang "haram" untuk dibicarakan. Jika seorang anak bertanya tentang tubuhnya sendiri, sering kali respons yang diberikan adalah mengalihkan pembicaraan atau bahkan memarahi anak tersebut karena dianggap terlalu "dewasa" untuk menanyakan hal semacam itu.
Dampaknya, anak-anak tumbuh tanpa pemahaman yang benar tentang tubuh mereka sendiri. Mereka tidak tahu bagaimana menjaga kesehatan reproduksi, tidak memahami konsep persetujuan (consent), dan yang lebih mengkhawatirkan, mereka rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual karena tidak dibekali dengan pengetahuan tentang bagaimana cara melindungi diri.
Ironisnya, meskipun pendidikan seks dianggap tabu, kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan seksual, kehamilan remaja, hingga penyebaran penyakit menular seksual terus meningkat. Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa angka kehamilan remaja di Indonesia masih cukup tinggi, terutama di daerah-daerah dengan akses pendidikan yang terbatas.
Jika kita melihat dari perspektif ini, justru semakin jelas bahwa kurangnya pendidikan seks bukanlah solusi, melainkan masalah yang semakin memperburuk keadaan.
Ketakutan Akan Perubahan Sosial dan Miskonsepsi yang Mengakar