Bayangkan jika suatu hari kamu merasa tubuhmu semakin lemah, batuk tak kunjung sembuh, berat badan turun drastis tanpa alasan yang jelas, dan keringat dingin sering muncul di malam hari. Gejala-gejala ini mungkin terdengar sepele, tetapi bisa menjadi pertanda bahwa ada sesuatu yang serius sedang menggerogoti tubuhmu tuberkulosis atau TBC.
Penyakit ini bukanlah hal baru. Sejak berabad-abad lalu, TBC telah menjadi momok yang menghantui peradaban manusia. Bahkan di masa lalu, penyakit ini sering disebut sebagai "the white plague" atau wabah putih karena banyaknya kematian yang diakibatkannya. Sayangnya, meskipun ilmu pengetahuan dan dunia medis telah berkembang pesat, TBC masih menjadi ancaman serius hingga saat ini, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Mungkin kamu berpikir bahwa TBC sudah bisa dikendalikan dengan kemajuan medis modern. Namun, kenyataannya jauh lebih mengkhawatirkan. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga dunia dengan jumlah kasus TBC tertinggi setelah India dan Tiongkok. Lebih dari 824 ribu kasus baru tercatat setiap tahunnya, dan lebih dari 150 ribu orang meninggal akibat penyakit ini. Ironisnya, banyak dari mereka yang seharusnya bisa diselamatkan jika saja TBC didiagnosis dan diobati sejak dini.
Mengapa TBC Masih Menjadi Ancaman Besar?
Salah satu alasan mengapa TBC tetap menjadi masalah global adalah sifatnya yang sangat menular. Penyakit ini menyebar melalui udara ketika penderita batuk, bersin, atau bahkan berbicara. Artinya, seseorang bisa terinfeksi hanya dengan menghirup udara yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikeluarkan oleh penderita TBC aktif. Bayangkan jika kamu berada di dalam ruangan tertutup bersama seseorang yang mengidap TBC aktif---kemungkinan besar kamu juga akan terpapar bakteri ini tanpa menyadarinya.
Lebih buruk lagi, banyak orang yang terinfeksi TBC tidak langsung menunjukkan gejala. Mereka mungkin merasa sehat dan tetap menjalani aktivitas sehari-hari tanpa mengetahui bahwa bakteri tersebut diam-diam berkembang di dalam tubuh mereka. Kondisi ini disebut sebagai TBC laten, di mana bakteri TBC "tidur" dalam tubuh tanpa menyebabkan penyakit. Namun, ketika sistem kekebalan tubuh melemah---baik karena stres, kurang gizi, infeksi lain, atau kondisi medis seperti diabetes---bakteri ini bisa aktif dan mulai menyerang tubuh.
TBC juga semakin sulit diatasi karena munculnya kasus TBC resistan obat atau yang lebih dikenal sebagai Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB). Jenis TBC ini tidak bisa diobati dengan antibiotik standar, sehingga pengobatannya lebih rumit, lebih mahal, dan membutuhkan waktu lebih lama. Sayangnya, banyak penderita yang tidak menyelesaikan pengobatan mereka dengan benar, baik karena efek samping obat yang berat, kurangnya akses ke fasilitas kesehatan, atau karena merasa sudah membaik sebelum pengobatan selesai. Hal ini berkontribusi pada munculnya bakteri TBC yang semakin kebal terhadap pengobatan.
Dampak TBC Tidak Hanya pada Kesehatan, Tetapi Juga Sosial dan Ekonomi
TBC bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar. Seseorang yang terjangkit TBC sering kali mengalami stigma di masyarakat. Banyak orang masih berpikir bahwa TBC adalah penyakit yang hanya menyerang kelompok tertentu, seperti orang miskin atau mereka yang memiliki gaya hidup tidak sehat. Akibatnya, banyak penderita yang merasa malu untuk mencari pengobatan atau bahkan menyembunyikan penyakit mereka dari keluarga dan lingkungan sekitar.
Selain stigma, penderita TBC juga bisa mengalami penurunan kualitas hidup secara drastis. Mereka yang sakit parah mungkin tidak bisa bekerja, kehilangan sumber pendapatan, dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan setelah sembuh, banyak pasien yang masih mengalami efek jangka panjang seperti kerusakan paru-paru permanen, yang membuat mereka kesulitan bernapas atau mudah lelah dalam menjalani aktivitas sehari-hari.