Seabad yang lalu, filsuf dan negarawan Amerika Serikat, John Dewey, pernah mengatakan bahwa demokrasi bukan sekadar bentuk pemerintahan, melainkan cara hidup yang terus berkembang melalui diskusi, refleksi, dan evaluasi. Dalam konteks Indonesia hari ini, pemikiran tersebut relevan ketika kita mengkaji 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Sejak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, publik menaruh harapan besar terhadap duet ini, yang hadir dengan janji-janji besar, mulai dari transformasi ekonomi hingga reformasi sistem pertahanan.
Namun, seperti yang sering terjadi dalam politik, harapan sering kali bertemu dengan realita yang tidak selalu sejalan. Setelah melewati 100 hari pertama, berbagai kebijakan mulai terlihat, meski masih menyisakan tanda tanya besar mengenai efektivitas dan dampaknya bagi masyarakat luas.
Menguji Janji Kampanye
Dalam politik, janji kampanye sering kali menjadi bahan bakar utama bagi pemimpin baru. Prabowo-Gibran datang dengan sederet janji ambisius, termasuk makan siang gratis bagi pelajar dan bantuan gizi bagi ibu hamil. Ini bukan sekadar program populis, tetapi juga menyentuh isu fundamental dalam pembangunan sumber daya manusia.
Namun, setelah 100 hari, publik mulai mempertanyakan sejauh mana program ini benar-benar dapat direalisasikan. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa program ini membutuhkan anggaran triliunan rupiah per tahun. Sementara itu, struktur fiskal Indonesia masih menghadapi tantangan, dengan tingkat defisit yang harus dikendalikan agar tidak membebani perekonomian jangka panjang. Pemerintah memang telah mengindikasikan bahwa mereka sedang mencari skema pendanaan yang tepat, tetapi tanpa kejelasan lebih lanjut, skeptisisme publik terus menguat.
Selain itu, ekonomi global yang belum sepenuhnya stabil juga memberikan tantangan tersendiri. Inflasi pangan dan energi masih menjadi momok yang menghantui masyarakat. Jika pemerintah tidak mampu menjaga daya beli rakyat, maka program makan siang gratis pun bisa kehilangan maknanya. Sebab, bagi sebagian masyarakat, yang lebih mendesak bukan hanya makan siang gratis bagi anak-anak sekolah, tetapi juga kestabilan harga kebutuhan pokok di pasar.
Dinamika Ekonomi
Salah satu indikator penting dalam menilai kinerja awal sebuah pemerintahan adalah kebijakan ekonominya. Sejak Prabowo-Gibran memegang tampuk kepemimpinan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di kisaran 5 persen. Ini menunjukkan bahwa secara makro, perekonomian masih berada dalam jalur yang relatif stabil. Namun, angka ini saja tidak cukup untuk mencerminkan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat di lapangan.
Pekerjaan rumah terbesar pemerintah saat ini adalah bagaimana memastikan pertumbuhan ekonomi ini benar-benar berdampak pada kesejahteraan rakyat, bukan hanya pada laporan statistik. Peningkatan investasi menjadi salah satu fokus utama, terutama dalam sektor hilirisasi industri. Namun, kebijakan ini tidak lepas dari tantangan besar, seperti ketergantungan pada investor asing dan potensi eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
Salah satu contoh nyata adalah industri nikel. Hilirisasi nikel memang berhasil meningkatkan nilai tambah dalam negeri, tetapi di sisi lain, dampaknya terhadap lingkungan dan tenaga kerja lokal masih menjadi perdebatan. Jika pemerintah tidak mengatur kebijakan ini dengan bijak, maka pertumbuhan ekonomi bisa menjadi pedang bermata dua: menguntungkan segelintir elite, tetapi merugikan masyarakat kecil.