Ketika membicarakan tentang Kota Medan, berbagai gambaran mungkin muncul di benakmu. Kota ini dikenal dengan keragaman kuliner khasnya, seperti soto Medan, durian Ucok, hingga lontong sayur yang legendaris. Namun, di balik keindahan budaya dan kehangatan masyarakatnya, ada fenomena yang telah lama menjadi sorotan bahkan dianggap hal biasa yakni kebiasaan angkutan kota atau angkot yang sering kali ngebut tanpa memperhatikan keselamatan di jalanan.
Bagi sebagian besar warga Medan, angkot ngebut mungkin sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Namun, bagi pendatang atau wisatawan, pengalaman ini bisa jadi menegangkan. Di sisi lain, kondisi ini menimbulkan persoalan serius yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang kebiasaan ini, dampaknya terhadap masyarakat, serta upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya.
Kota Medan dan Budaya Angkot Ngebut
Angkutan kota adalah salah satu moda transportasi umum yang paling banyak digunakan di Medan. Dengan tarif yang relatif terjangkau, angkot menjadi pilihan utama bagi banyak orang, terutama kalangan pekerja dan pelajar. Namun, sistem operasional angkot yang masih sangat bergantung pada "setoran" membuat para sopir berlomba-lomba mencari penumpang. Di sinilah masalah bermula.
Kamu mungkin sering melihat angkot di Medan yang saling kejar-kejaran di jalanan. Dalam situasi ini, kecepatan tinggi menjadi cara mereka untuk mendahului angkot lain demi mendapatkan penumpang lebih dulu. Sayangnya, perilaku ini tidak hanya berisiko bagi pengemudi, tetapi juga bagi penumpang dan pengguna jalan lainnya.
Jalanan Medan yang sering kali macet atau sempit justru semakin memperbesar risiko kecelakaan. Tidak jarang, sopir angkot berhenti mendadak di tengah jalan untuk menaikkan atau menurunkan penumpang tanpa memperhatikan kendaraan lain di sekitarnya. Hal ini tentu membahayakan, terutama bagi pengendara sepeda motor yang menjadi kelompok paling rentan terhadap kecelakaan.
Menelusuri Akar Masalah
Untuk memahami mengapa fenomena angkot ngebut begitu marak di Medan, kita perlu melihat lebih dalam ke akar masalahnya. Salah satu penyebab utama adalah sistem kerja yang berbasis pada jumlah penumpang. Sopir angkot biasanya harus menyetorkan sejumlah uang kepada pemilik kendaraan setiap harinya. Jumlah setoran ini cenderung tetap, terlepas dari banyak atau sedikitnya penumpang yang mereka dapatkan. Jika penghasilan mereka tidak cukup untuk menutup setoran, mereka terpaksa menutupi kekurangan tersebut dari kantong pribadi.
Tekanan finansial inilah yang membuat banyak sopir angkot memprioritaskan jumlah penumpang daripada keselamatan. Akibatnya, mereka sering mengemudi dengan cara yang agresif ngebut, saling serobot, dan mengabaikan rambu lalu lintas. Selain itu, kurangnya pengawasan dari pihak berwenang memperburuk keadaan. Meski ada aturan yang mengatur tentang tata cara berkendara, penegakannya sering kali tidak konsisten, sehingga banyak pelanggaran yang dibiarkan begitu saja.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kurangnya pendidikan tentang keselamatan berkendara di kalangan sopir angkot. Banyak dari mereka yang tidak mendapatkan pelatihan formal atau pemahaman yang cukup tentang pentingnya keselamatan di jalan. Kondisi kendaraan yang sering kali tidak terawat juga menambah kompleksitas masalah ini. Banyak angkot yang sudah tua dan tidak layak jalan, tetapi tetap dioperasikan karena alasan ekonomi.