Di era digital yang serba canggih ini, kita seringkali merasa bahwa kebahagiaan memiliki standar yang harus dipenuhi. Semua ini diperburuk dengan adanya media sosial yang menampilkan kebahagiaan dalam bentuk yang sangat ideal. Banyak orang merasa tertekan karena merasa kehidupan mereka tidak memenuhi "standar kebahagiaan" yang telah ditetapkan oleh orang lain. Namun, apa yang sering terlupakan adalah bahwa kebahagiaan adalah pengalaman yang sangat pribadi dan tidak bisa dipaksakan. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dihitung, diukur, atau dipaksakan dalam bentuk tertentu. Setiap orang berhak mendefinisikan kebahagiaannya sendiri, tanpa terikat pada ekspektasi atau gambaran hidup orang lain.
Di sinilah masalah besar muncul, terutama bagi kamu, generasi Z, yang tumbuh besar dalam dunia yang terus berubah dan dipenuhi dengan berbagai macam harapan serta penilaian. Sebagai generasi yang tidak hanya lahir di dunia teknologi, tetapi juga terbiasa dengan perbandingan yang terus-menerus, kamu mungkin merasa kebahagiaan hanya bisa diraih dengan memiliki segala yang terlihat sempurna di dunia maya. Namun, apakah itu benar? Mari kita telusuri lebih dalam.
Kebahagiaan Adalah Perasaan yang Subjektif
Kebahagiaan adalah hal yang sangat pribadi, dan tidak ada satu pun formula yang bisa menyamaratakan bagaimana seseorang bisa merasa bahagia. Setiap orang mempunyai definisi kebahagiaannya sendiri yang terbentuk berdasarkan latar belakang, pengalaman, dan pandangannya terhadap dunia. Kebahagiaanmu bisa saja berbeda dengan kebahagiaan orang lain, bahkan dengan kebahagiaan orang yang berada di sekitarmu. Seseorang mungkin merasa bahagia saat mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, sementara orang lain merasa lebih bahagia dengan menjalani kehidupan yang sederhana, jauh dari keramaian kota. Sebuah kebahagiaan bisa datang dari pencapaian besar seperti mendapatkan beasiswa atau memenangkan kompetisi, tetapi juga bisa datang dari hal-hal kecil yang lebih intim, seperti makan malam bersama keluarga atau menikmati waktu sendirian di tengah kesibukan dunia.
Namun, dalam kehidupan modern yang serba terhubung ini, kita sering kali lupa akan fakta bahwa kebahagiaan itu tidak bisa diukur. Media sosial, dengan gambar-gambar cerahnya, sering kali menggambarkan kebahagiaan dalam bentuk yang sangat ideal, bahkan tidak realistis. Di Instagram, TikTok, atau platform lainnya, kita bisa melihat orang-orang yang berlibur ke luar negeri, membeli barang-barang mahal, atau menunjukkan pencapaian-pencapaian besar mereka. Semua ini berpotensi menanamkan ide bahwa kebahagiaan terletak pada apa yang kita miliki atau apa yang telah kita capai dalam hidup. Padahal, hal tersebut tidak lebih dari sekadar pencitraan. Gambar yang terlihat bahagia di media sosial bisa saja menyembunyikan tantangan besar yang sebenarnya dihadapi oleh orang tersebut.
Media Sosial Musuh atau Teman?
Media sosial memang telah membawa banyak kemudahan, baik dalam hal komunikasi, pekerjaan, maupun hiburan. Tetapi, kita tidak bisa menafikan bahwa media sosial juga berperan dalam membentuk gambaran tentang apa itu kebahagiaan. Sebagian besar konten yang ada di media sosial bertujuan untuk menampilkan momen-momen positif, terkadang sangat jauh dari kenyataan. Hal ini membuat kamu, terutama generasi Z, yang tumbuh besar dengan media sosial, merasa bahwa kebahagiaan harus terukur dengan cara yang sama dengan apa yang kita lihat di layar.
Kita sering melihat teman-teman atau influencer memamerkan liburan mewah, foto-foto dengan pakaian terbaru, atau gaya hidup glamor. Gambaran ini tanpa disadari dapat menciptakan standar kebahagiaan yang palsu, yang tidak jarang memicu perasaan tidak cukup atau gagal. Kamu mungkin merasa bahwa kebahagiaan seharusnya datang dengan pencapaian yang terlihat dari luar, seperti memiliki uang yang cukup, memiliki hubungan yang sempurna, atau mendapatkan ketenaran. Padahal, kebahagiaan yang sejati tidak dapat dilihat dari apa yang dipamerkan di media sosial, melainkan datang dari dalam diri seseorang itu sendiri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association, perbandingan sosial yang dipicu oleh media sosial memang dapat menurunkan tingkat kebahagiaan dan meningkatkan kecemasan. Hal ini terjadi karena kita seringkali merasa bahwa hidup kita tidak cukup "hebat" jika dibandingkan dengan orang lain. Namun, yang tidak kita sadari adalah bahwa apa yang kita lihat di media sosial seringkali hanya sebagian kecil dari kehidupan orang tersebut, yang mungkin juga dipenuhi dengan perjuangan dan masalah yang tak terlihat oleh mata.
Tekanan Sosial dan Pencapaian yang Tak Pernah Berhenti