Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) menjadi salah satu dokumen yang sangat esensial di Indonesia. Bagi masyarakat, SKCK bukan sekadar dokumen administratif. Ini adalah "pintu pembuka" menuju berbagai keperluan penting, seperti melamar pekerjaan, mengurus visa untuk perjalanan ke luar negeri, hingga memenuhi syarat administrasi tertentu dalam dunia pendidikan atau perbankan. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah tarif resmi pembuatan SKCK sebesar Rp30 ribu sudah layak? Untuk menjawabnya, mari kita kaji lebih dalam dengan mempertimbangkan aspek regulasi, layanan, dan persepsi publik.
SKCK dalam Konteks Regulasi Resmi
Tarif pembuatan SKCK sebesar Rp30 ribu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai sebuah dokumen resmi, SKCK memuat informasi penting terkait rekam jejak seseorang, terutama dalam hal catatan kriminal. Proses penerbitan SKCK melibatkan verifikasi data yang dilakukan melalui sistem komputerisasi, sehingga diharapkan memiliki akurasi tinggi.
Dalam teori, Rp30 ribu ini dianggap sebagai kontribusi masyarakat kepada negara untuk menutupi biaya operasional penerbitan SKCK. Hal ini meliputi penggunaan perangkat teknologi, pemeliharaan sistem, hingga tenaga kerja yang terlibat dalam proses pengolahan data. Akan tetapi, teori ini belum sepenuhnya terimplementasi dengan optimal di lapangan.
Persoalan Infrastruktur dan Digitalisasi
Salah satu hal yang memengaruhi pengalaman masyarakat dalam mendapatkan SKCK adalah ketersediaan infrastruktur, terutama dalam proses digitalisasi. Di kota-kota besar, penerapan layanan daring untuk pengajuan SKCK sudah cukup baik. Masyarakat dapat mengakses situs resmi Polri, mengisi formulir secara online, dan hanya perlu datang ke kantor polisi untuk verifikasi serta pengambilan dokumen.
Namun, situasi ini berbeda di wilayah pedesaan atau daerah terpencil. Banyak masyarakat yang mengeluhkan sulitnya mengakses layanan daring karena keterbatasan infrastruktur internet. Tidak sedikit juga yang akhirnya terpaksa menghabiskan waktu lebih lama di kantor polisi karena antrian panjang atau prosedur manual yang masih diterapkan. Masalah ini semakin diperburuk oleh kurangnya edukasi mengenai tata cara pembuatan SKCK, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa menggunakan teknologi.
Jika pemerintah ingin mempertahankan tarif Rp30 ribu sebagai angka yang dianggap wajar, maka penyediaan layanan yang merata harus menjadi prioritas. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa akses yang tidak setara membuat sebagian masyarakat merasa terbebani, baik dari sisi biaya maupun waktu.
Pungli dan Ketidaktransparanan Layanan
Selain persoalan infrastruktur, isu pungutan liar (pungli) juga menjadi salah satu kendala yang sering dibicarakan masyarakat. Meski tarif resmi sudah ditetapkan sebesar Rp30 ribu, ada laporan dari berbagai daerah tentang adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh pemohon SKCK. Biaya tambahan ini sering kali dibungkus dalam bentuk "uang administrasi tambahan", yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum.