Pendidikan adalah salah satu hak asasi yang seharusnya dimiliki oleh setiap anak di dunia. Ia menjadi fondasi yang mengukuhkan masa depan, membuka peluang, dan meratakan kesempatan. Namun, meski pendidikan seharusnya menjadi jalan menuju kesetaraan, kenyataannya banyak anak di Indonesia yang masih terjebak dalam diskriminasi. Diskriminasi di dunia pendidikan, yang disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, etnis, agama, dan bahkan gender, terus menjadi masalah besar yang menghambat kemajuan anak-anak tersebut. Hal ini jelas merupakan sebuah ironi, mengingat pendidikan mestinya menjadi instrumen untuk mengatasi ketimpangan sosial, bukan malah memperburuknya.
Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia yang Terabaikan
Diskriminasi pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang kompleks dan tidak bisa dianggap remeh. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Namun dalam realitasnya, pendidikan yang semestinya dapat dinikmati oleh semua anak, justru sering kali menjadi barang mewah yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang berada dalam status sosial tertentu. Masalah diskriminasi ini sudah seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan masyarakat, mengingat pendidikan bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban negara untuk menjamin pemerataan akses bagi seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali.
Beban Berat Bagi Anak-Anak dari Keluarga Miskin
Salah satu bentuk diskriminasi yang paling dominan dan nyata adalah diskriminasi berbasis ekonomi. Dalam banyak kasus, anak-anak dari keluarga miskin di Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk dapat melanjutkan pendidikan. Biaya pendidikan yang terus meningkat, ditambah dengan berbagai biaya tak terduga lainnya, seringkali membuat keluarga-keluarga kurang mampu terpaksa menarik anak-anak mereka dari sekolah.
Bahkan, meski ada program bantuan pendidikan dan beasiswa, faktanya masih banyak anak yang tidak dapat merasakan manfaat dari program tersebut. Hal ini karena besarnya biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa, seperti biaya seragam, ujian, dan kegiatan ekstrakurikuler, yang sering kali tidak terjangkau oleh mereka yang berasal dari keluarga miskin. Selain itu, keberadaan sistem zonasi di beberapa daerah juga seringkali memperburuk ketimpangan pendidikan. Sekolah-sekolah yang berada di kota-kota besar atau daerah kaya cenderung memiliki fasilitas yang jauh lebih lengkap dan tenaga pengajar yang lebih berkualitas. Sementara itu, sekolah-sekolah di daerah pedalaman atau desa tertinggal sering kali kekurangan fasilitas dasar, serta tenaga pengajar yang kompeten. Inilah yang membuat jurang ketidakadilan semakin lebar.
Kasus Murid Dihukum Duduk di Lantai Karena Menunggak SPP
Kasus diskriminasi di dunia pendidikan yang paling mencolok sering kali terjadi di sekolah-sekolah dengan latar belakang masyarakat yang kurang mampu. Baru-baru ini, sebuah kejadian mengejutkan terjadi di Medan, Sumatera Utara, yang mengundang perhatian publik. Seorang murid di sebuah sekolah menengah dihukum oleh pihak sekolah karena menunggak SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) selama tiga bulan. Hal yang dilakuan wali kelas kepada siswa tersebut sangat merendahkan dan menginjak harga diri seorang anak: ia dipaksa duduk di lantai di depan kelas selama pelajaran berlangsung sebagai bentuk hukuman.
Hukuman ini tentu saja mencerminkan ketidakpahaman terhadap hak asasi anak dan menunjukkan bagaimana diskriminasi berbasis ekonomi dapat merusak kepercayaan diri anak-anak yang tengah berada dalam proses pendidikan. Alih-alih memberikan pemahaman mengenai pentingnya disiplin dan tanggung jawab, pihak sekolah justru menghukum anak tersebut dengan cara yang merendahkan martabatnya. Kasus semacam ini menunjukkan betapa dalamnya ketimpangan sosial yang masih mengakar dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Diskriminasi Berdasarkan Etnis dan Agama