Masalah tanah selalu menjadi isu krusial dalam pembangunan di Indonesia. Sebagai negara dengan populasi yang terus bertambah dan kebutuhan ruang yang semakin mendesak, tanah menjadi sumber daya yang memiliki nilai strategis. Namun, ironisnya, masalah aksesibilitas tanah di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria, hingga keterbatasan lahan untuk pembangunan infrastruktur menjadi tantangan yang sulit diatasi. Mengingat masalah dan sengketa yang sering terjadi badan bank tanah atau land bank memberikan harapan baru. Lembaga ini diproyeksikan mampu mengatasi berbagai persoalan yang selama ini menghambat akses terhadap tanah secara adil.
Bank tanah, sebagai sebuah lembaga khusus, dibuat untuk mengelola, mendistribusikan, dan memanfaatkan tanah secara strategis demi kepentingan publik. Meskipun gagasan ini masih relatif baru di Indonesia, badan bank tanah telah diterapkan di banyak negara sebagai solusi atas persoalan tata kelola lahan. Namun, sebelum mengupas lebih jauh mengenai peran badan bank tanah, penting untuk memahami akar masalah yang melatarbelakangi ketimpangan akses tanah di negeri ini.
Masalah Fundamental Aksesibilitas Tanah di Indonesia
Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan tanah di Indonesia adalah ketimpangan penguasaan lahan. Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebagian besar lahan produktif di Indonesia dikuasai oleh segelintir pihak, baik perusahaan besar maupun individu dengan modal besar. Situasi ini meninggalkan kelompok masyarakat kecil, seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat, berada dalam kondisi tanpa lahan yang memadai. Tanah, yang seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap warga negara, justru menjadi barang mewah yang sulit diakses.
Kondisi ini diperparah oleh fenomena spekulasi harga tanah yang tidak terkendali. Banyak investor melihat tanah sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan semata, bukan sebagai sumber daya produktif. Akibatnya, harga tanah melambung tinggi, terutama di kawasan perkotaan, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah semakin sulit untuk mendapatkan akses terhadap tanah untuk tempat tinggal maupun usaha.
Masalah lain yang tidak kalah serius adalah tumpang tindih kepemilikan lahan. Lemahnya sistem administrasi pertanahan menyebabkan banyak kasus di mana satu bidang tanah memiliki lebih dari satu sertifikat. Hal ini tidak hanya menimbulkan konflik agraria, tetapi juga menghambat investasi dan pembangunan. Padahal, tanah yang dikelola dengan baik memiliki potensi besar untuk mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Krisis akses tanah juga dirasakan dalam sektor pembangunan infrastruktur. Pemerintah sering kali menghadapi kesulitan dalam proses pembebasan lahan untuk proyek strategis, seperti jalan tol, rel kereta api, dan kawasan industri. Proses yang berlarut-larut ini tidak hanya menghambat jadwal pembangunan, tetapi juga menimbulkan ketegangan sosial di masyarakat.
Badan Bank Tanah sebagai Solusi Strategis
Badan bank tanah diharap dapat menjadi menjawab tantangan tersebut. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Secara umum, badan bank tanah bertugas untuk mengakuisisi, mengelola, dan mendistribusikan tanah untuk mendukung pembangunan nasional. Namun, peran badan bank tanah tidak sekadar teknis; ia juga memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang luas.
Sebagai contoh, badan bank tanah dapat menjadi alat untuk mendukung reforma agraria, yaitu kebijakan redistribusi tanah kepada masyarakat kecil yang membutuhkan. Dengan memanfaatkan tanah-tanah terlantar atau tanah negara yang tidak produktif, badan bank tanah dapat memberikan akses kepada petani kecil, nelayan, dan masyarakat adat untuk memanfaatkan tanah tersebut secara produktif. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan mereka, tetapi juga mengurangi kesenjangan sosial yang selama ini menjadi sumber ketidakstabilan.