Di tengah kemajuan teknologi dan modernisasi, kita sering kali gagal menyadari bahaya laten yang mengintai di sekitar kita: eksploitasi anak. Eksploitasi anak bukan lagi sekadar memanfaatkan tenaga mereka untuk pekerjaan kasar, seperti yang sering terjadi di masa lalu. Kini, eksploitasi hadir dalam bentuk yang lebih halus dan tersamarkan di tengah dinamika kehidupan modern. Ironisnya, sebagian besar dari kita tanpa sadar berkontribusi pada fenomena ini.
Eksploitasi anak di era modern bertransformasi seiring perkembangan zaman. Teknologi, pendidikan, dan perubahan pola hidup justru membuka pintu-pintu baru bagi eksploitasi yang lebih sulit dikenali. Dari tekanan akademik yang berlebihan, pemanfaatan anak dalam dunia digital, hingga beban sosial yang tidak seharusnya mereka tanggung semua ini menjadi wujud eksploitasi yang perlahan menggerogoti hak-hak mereka.
Eksploitasi dalam Dunia Digital
Salah satu aspek yang paling mencolok di era modern adalah kehadiran teknologi dan media sosial. Platform digital yang awalnya diciptakan untuk mempermudah komunikasi dan memberikan hiburan, kini justru sering menjadi alat eksploitasi terhadap anak. Salah satu bentuk eksploitasi yang semakin marak adalah penggunaan anak sebagai konten di media sosial.
Banyak orang tua menjadikan anak-anak mereka sebagai pusat perhatian dalam video atau foto yang diunggah di platform seperti Instagram, YouTube, atau TikTok. Aktivitas ini sering kali dianggap sebagai hal yang wajar, bahkan menggemaskan. Namun, ketika konten-konten tersebut mulai dimonetisasi, anak-anak secara tidak langsung berubah menjadi "sumber penghasilan". Dalam banyak kasus, anak tidak memiliki kontrol atas kehidupan pribadinya yang terekspos ke publik.
Seorang anak, misalnya, mungkin harus mengikuti sesi pemotretan atau pengambilan video secara berulang demi menghasilkan konten yang menarik. Mereka sering kali diminta untuk tampil ceria atau mengikuti skenario tertentu, tanpa memperhatikan kenyamanan atau keinginan mereka. Privasi anak pun menjadi taruhannya. Data mereka terekspos ke publik, yang pada akhirnya meningkatkan risiko pelecehan atau kejahatan siber.
Penelitian yang dilakukan oleh organisasi perlindungan anak menunjukkan bahwa konten anak yang viral di internet sering kali disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, dampak psikologis pada anak yang tumbuh di bawah sorotan media sosial dapat menjadi serius. Mereka bisa merasa kehilangan identitas diri karena terus menerus "hidup" untuk menghibur audiens.
Tekanan Akademik yang Berlebihan
Modernisasi juga membawa standar baru dalam pendidikan. Prestasi akademik kini dianggap sebagai ukuran utama keberhasilan seorang anak. Banyak orang tua yang, dengan niat baik, mendorong anak-anak mereka untuk mencapai prestasi setinggi mungkin. Namun, dorongan ini sering kali berubah menjadi tekanan yang berlebihan.
Anak-anak diharapkan untuk selalu menjadi yang terbaik di kelas, memenangkan berbagai kompetisi, dan mengikuti sejumlah les tambahan. Jadwal mereka dipenuhi dengan aktivitas akademik tanpa memberikan ruang untuk bermain atau beristirahat. Fenomena ini tidak hanya membatasi hak anak untuk menikmati masa kecil mereka, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan mental mereka.