Di antara riuh dan gemuruh ibu kota, ada sekelompok masyarakat yang menjalani hidup dengan cara unik pergi pagi pulang malam. Fenomena ini menjadi rutinitas sehari-hari bagi jutaan penduduk kota satelit seperti Bogor, Bekasi, Depok, hingga Tangerang. Mereka rela menempuh perjalanan panjang setiap hari untuk bekerja di Jakarta demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Namun, di balik perjuangan tersebut, terselip cerita pilu yang jarang mendapat sorotan serius.
Hidup sebagai warga kota satelit bukanlah perkara mudah. Ada banyak alasan mengapa mereka memilih tinggal jauh dari pusat pekerjaan, mulai dari mahalnya biaya hidup di ibu kota hingga keterbatasan hunian yang layak di Jakarta. Tapi, pilihan ini ternyata juga membawa konsekuensi besar, terutama dalam hal kualitas hidup.
Perjalanan yang Tidak Ada Ujungnya
Bayangkan kamu harus bangun sebelum subuh setiap hari. Dingin pagi belum sepenuhnya hilang, tetapi kamu sudah menyiapkan diri untuk menempuh perjalanan panjang menuju Jakarta. Stasiun-stasiun seperti Bogor, Bekasi, atau Tangerang dipenuhi ribuan orang yang saling berdesakan masuk ke dalam kereta. Bahkan, bagi sebagian pekerja, waktu di perjalanan bisa lebih panjang daripada jam kerja mereka.
Menurut data dari Institut Teknologi Bandung (ITB), rata-rata waktu tempuh perjalanan komuter warga kota satelit ke Jakarta mencapai 3-4 jam sehari, baik dengan transportasi umum maupun kendaraan pribadi. Angka ini tentu sangat signifikan, terutama jika kamu bandingkan dengan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk beristirahat atau bercengkerama bersama keluarga.
Salah satu kisah nyata datang dari Tono, seorang karyawan swasta yang tinggal di Bogor. Ia mengaku harus berangkat dari rumah pukul 4 pagi dan baru sampai kembali sekitar pukul 9 malam. "Kadang kalau di fikir seperti tidak punya kehidupan di luar kerja. Pulang hanya untuk tidur, lalu bangun dan berangkat lagi," ujarnya.
Kondisi ini tidak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga menguras mental. Mereka yang harus menjalani rutinitas seperti ini sering kali merasa terjebak dalam lingkaran tanpa akhir, di mana waktu seolah habis hanya untuk bertahan hidup.
Ketimpangan yang Mencolok
Masalah ini tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan ekonomi dan infrastruktur yang terjadi antara Jakarta dan kota-kota satelit di sekitarnya. Jakarta sebagai pusat ekonomi Indonesia menawarkan banyak peluang kerja dengan upah yang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Namun, biaya hidup di ibu kota yang melambung tinggi membuat banyak pekerja memilih tinggal di pinggiran.
Misalnya, harga sewa hunian di Jakarta bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan di Bekasi atau Depok. Untuk sebuah apartemen kecil di Jakarta Selatan, biaya sewanya bisa mencapai Rp5 juta per bulan, sementara di Depok, kamu masih bisa menemukan rumah kontrakan dengan harga Rp2 juta per bulan. Pilihan ini tentu masuk akal bagi mereka yang ingin menekan pengeluaran bulanan.