Saat kita berjalan di jalanan kota atau desa, tak jarang mata kita disuguhi pemandangan yang sama yaitu tumpukan sampah. Baik itu di pinggir jalan, di sungai, maupun di lahan kosong, sampah seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Fenomena ini bukan hanya masalah estetika, tetapi juga persoalan serius yang memengaruhi kesehatan, lingkungan, dan bahkan ekonomi. Namun, jika kita terus-menerus melihat sampah hanya sebagai masalah, kapan kita akan mulai melihatnya sebagai peluang? Sudah waktunya kita naik level, dari sekadar mengatasi sampah menjadi memanfaatkannya untuk sesuatu yang lebih bernilai.
Masalah Sampah di Indonesia
Indonesia berada di peringkat kedua sebagai penghasil sampah plastik terbesar yang mencemari lautan setelah China. Menurut laporan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia mencapai 67,8 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 7,5% yang didaur ulang, sementara sisanya berakhir di TPA, dibakar secara ilegal, atau mencemari lingkungan.
Salah satu masalah mendasar adalah pengelolaan sampah di Indonesia yang masih sangat tradisional. Sebagian besar TPA kita masih beroperasi dengan sistem open dumping, yaitu metode pembuangan sampah secara terbuka. Metode ini tidak hanya merusak pemandangan, tetapi juga menghasilkan gas metana yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Selain itu, banyak kota dan daerah yang belum memiliki sistem pemilahan sampah yang efektif, sehingga sampah organik, plastik, dan limbah berbahaya bercampur menjadi satu.
Sampah plastik menjadi tantangan utama. Plastik membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai, dan selama itu, partikel-partikelnya dapat terpecah menjadi mikroplastik yang masuk ke rantai makanan. Sebuah penelitian oleh Universitas Newcastle, Australia, menemukan bahwa rata-rata manusia mengonsumsi sekitar 5 gram mikroplastik per minggu---setara dengan satu kartu kredit. Fakta ini menunjukkan bahwa sampah bukan hanya mencemari lingkungan, tetapi juga secara langsung mengancam kesehatan manusia.
Namun, apakah masalah ini hanya berhenti di situ? Tidak. Masalah sampah juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan. Menurut laporan Bank Dunia, polusi plastik di laut merugikan sektor pariwisata global hingga miliaran dolar setiap tahun. Pantai-pantai yang dipenuhi sampah menjadi kurang menarik bagi wisatawan, dan nelayan pun kehilangan mata pencaharian karena tangkapan ikan mereka terkontaminasi limbah.
Kenapa Kita Perlu Berpindah dari Mengatasi Sampah ke Memanfaatkan Sampah?
Selama ini, pendekatan kita terhadap sampah lebih berfokus pada "mengatasi". Kita sibuk membersihkan sampah dari sungai, memungut plastik dari pantai, atau mengangkut sampah ke TPA. Langkah-langkah ini tentu penting, tetapi sifatnya hanya sementara. Sampah terus mengalir tanpa henti, sementara solusi yang kita gunakan sering kali tidak menyentuh akar masalah.
Pendekatan baru yang perlu diambil adalah memanfaatkan sampah. Apa maksudnya? Sampah tidak lagi hanya dianggap sebagai barang buangan, tetapi sebagai sumber daya. Konsep ini sering disebut sebagai waste-to-resource atau pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular. Dalam ekonomi sirkular, sampah yang dihasilkan oleh satu sektor dapat digunakan sebagai bahan baku untuk sektor lainnya, menciptakan siklus berkelanjutan yang mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi sumber daya.
Bayangkan jika sampah organik di rumah tangga diubah menjadi kompos yang bisa digunakan untuk menyuburkan tanah. Atau jika sampah plastik yang selama ini mencemari laut diolah menjadi bahan baku untuk produk baru, seperti furnitur atau bahan bangunan. Dengan memanfaatkan sampah, kita tidak hanya mengurangi beban lingkungan, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi baru.