Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghapus Stereotip Perempuan Sebagai Warga Kelas Dua

12 Desember 2024   08:16 Diperbarui: 12 Desember 2024   08:16 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita melihat kondisi masyarakat modern saat ini, tampak jelas bahwa perempuan telah banyak berperan di segala bidang, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga politik. Namun, ironisnya, banyak orang yang masih memandang perempuan sebagai "warga kelas dua." Pemikiran kuno ini, meski tampaknya sudah mulai memudar, nyatanya masih eksis dan bisa ditemukan, bahkan di lingkungan yang kita anggap maju. Apakah sebenarnya yang melatarbelakangi stereotip ini, dan mengapa masih terus berlanjut di zaman yang katanya sudah maju ini?

Untuk memahami masalah ini, mari kita lihat akar sejarahnya. Selama ribuan tahun, berbagai budaya di seluruh dunia menganggap perempuan sebagai sosok yang terbatas pada peran mengurus rumah, merawat anak, dan menjadi pendukung utama laki-laki. Meskipun tidak ada yang salah dengan peran tersebut, membatasi perempuan hanya dalam lingkup ini menciptakan pandangan bahwa mereka tidak layak untuk mengambil peran yang lebih besar di masyarakat. Sebagai akibatnya, terciptalah berbagai stereotip yang menganggap perempuan lebih lemah, emosional, dan tidak mampu memimpin atau membuat keputusan penting.

Sejarah panjang inilah yang mempengaruhi cara pandang kita hari ini. Stereotip ini masih hidup dalam bentuk yang sering kali terselubung, misalnya ketika seorang perempuan yang bercita-cita menjadi pemimpin dipandang sebelah mata, atau ketika seorang perempuan diperlakukan tidak setara dalam dunia kerja. Kamu mungkin pernah mendengar pernyataan, "Perempuan tidak cocok di dunia teknologi" atau "Perempuan seharusnya fokus mengurus rumah tangga." Ucapan seperti ini bukan sekadar kata-kata kosong; mereka menciptakan batasan tak kasat mata yang membuat perempuan kesulitan untuk meraih apa yang mereka inginkan.

Dampak Nyata dari Stereotip Perempuan sebagai Warga Kelas Dua

Dampak dari stereotip ini jauh lebih serius daripada yang mungkin kita bayangkan. Misalnya, di dunia kerja, perempuan sering kali dihadapkan pada "glass ceiling" atau batas tak terlihat yang membatasi kesempatan mereka untuk naik jabatan. Fakta menunjukkan bahwa meskipun perempuan memiliki kualifikasi dan pengalaman yang sama, mereka tetap berpeluang lebih kecil untuk mendapatkan posisi manajerial atau eksekutif dibandingkan rekan laki-lakinya. Sebuah laporan dari Catalyst, sebuah lembaga riset internasional, menunjukkan bahwa perempuan hanya memegang sekitar 26,5% posisi manajerial dan eksekutif di dunia, meskipun mereka berjumlah hampir separuh dari total angkatan kerja. Angka ini menunjukkan bahwa diskriminasi gender di dunia kerja masih menjadi masalah serius.

Selain itu, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan juga menjadi bukti konkret dari diskriminasi ini. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2023, perempuan di Indonesia rata-rata memperoleh upah sekitar 80% dari pendapatan laki-laki di posisi yang sama. Kesenjangan ini terjadi meskipun perempuan sering kali bekerja dengan etos dan dedikasi yang tidak kalah tinggi. Diskriminasi upah ini bukan hanya merugikan perempuan, tetapi juga ekonomi nasional, karena produktivitas perempuan yang maksimal tidak diakui dengan adil.

Lebih jauh lagi, stereotip ini berdampak pada kesehatan mental perempuan. Ketika mereka terus menerus direndahkan atau dipandang tidak setara, hal ini dapat menimbulkan rasa rendah diri dan kelelahan emosional. Banyak perempuan yang merasa harus bekerja lebih keras untuk membuktikan diri mereka setara, yang pada akhirnya bisa berujung pada burnout. Perasaan seperti ini bukanlah hal yang sepele, dan dapat mempengaruhi kebahagiaan serta kualitas hidup mereka.

Mengapa Menghapus Stereotip Ini Penting?

Menghapus stereotip ini bukan sekadar tentang memberdayakan perempuan; ini adalah soal keadilan, kemajuan, dan kebahagiaan bersama. Ketika perempuan diberi kesempatan yang sama, mereka bisa memberikan kontribusi besar bagi masyarakat. Misalnya, negara-negara dengan kesetaraan gender yang baik, seperti Islandia dan Swedia, menunjukkan tingkat kebahagiaan masyarakat yang lebih tinggi dan stabilitas ekonomi yang lebih baik. Data menunjukkan bahwa negara-negara tersebut cenderung memiliki ekonomi yang lebih kuat, karena seluruh angkatan kerja, baik laki-laki maupun perempuan, dapat bekerja sesuai dengan kemampuan dan minat mereka tanpa hambatan diskriminasi.

Selain itu, dunia yang inklusif menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan kreatif. Penelitian dari McKinsey & Company menemukan bahwa perusahaan dengan keragaman gender yang baik memiliki peluang 21% lebih tinggi untuk menghasilkan keuntungan di atas rata-rata dibandingkan dengan perusahaan yang kurang beragam. Perempuan sering kali membawa perspektif dan pendekatan berbeda yang justru bisa menjadi keunggulan kompetitif dalam menyelesaikan masalah yang kompleks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun