Korupsi dan kejahatan ekonomi telah lama menjadi momok di Indonesia. Dari tingkat pusat hingga daerah, praktik ini terus menggerogoti kepercayaan publik dan menghambat pembangunan. Di balik kerugian triliunan rupiah yang ditimbulkan, ada satu masalah besar yang sering menjadi penghalang penegakan hukum: sulitnya mengembalikan aset hasil kejahatan.Â
Pelaku kejahatan kerap menyembunyikan atau memindahkan asetnya dengan berbagai cara, sehingga penegakan hukum tak jarang berakhir tanpa pemulihan yang signifikan.
Dalam konteks inilah Undang-Undang Perampasan Aset (UU Perampasan Aset) hadir sebagai solusi. Undang-undang ini menawarkan pendekatan baru untuk merampas aset-aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, seberapa penting UU ini dalam konteks hukum Indonesia?
Mengapa UU Perampasan Aset Dibutuhkan Sekarang?
Indonesia adalah negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Data dari Transparency International menunjukkan bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 hanya 34 dari 100. Ini mencerminkan betapa akutnya masalah korupsi di negeri ini. Namun, persoalan tak hanya berhenti pada pelaku korupsi, tetapi juga pada hasil kejahatan yang mereka simpan dalam bentuk aset.
Contohnya, kasus dugaan korupsi eks pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo. Dalam proses hukum, ditemukan aset berupa properti mewah, kendaraan bermotor, dan investasi bernilai miliaran rupiah. Sebagian aset ini sulit disita karena proses penyidikan membutuhkan waktu yang panjang. Ketika penegak hukum baru bergerak, aset-aset tersebut sudah berpindah tangan atau disamarkan.
UU Perampasan Aset menjadi solusi untuk situasi ini. Dengan undang-undang ini, negara memiliki kewenangan merampas aset-aset hasil kejahatan bahkan sebelum ada putusan pidana yang inkracht. Pendekatan ini menawarkan efisiensi yang sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum.
Potret Buram Penanganan Aset Hasil Kejahatan di Indonesia
Kasus-kasus besar seperti skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), korupsi e-KTP, hingga penyalahgunaan dana bansos menunjukkan lemahnya mekanisme pengelolaan aset hasil kejahatan di Indonesia. Dalam kasus BLBI, misalnya, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp110 triliun. Meski berbagai upaya hukum telah dilakukan, sebagian besar aset terkait kejahatan ini masih belum berhasil dikembalikan kepada negara.
Mengapa begitu sulit?
Salah satu kendala utama adalah panjangnya proses peradilan pidana yang sering kali memberi waktu bagi pelaku untuk menyembunyikan atau memindahkan aset mereka. Di sisi lain, regulasi yang ada seperti KUHAP dan UU Tindak Pidana Korupsi kurang efektif dalam menangani pemulihan aset secara cepat. Proses pembuktian bersalah yang membutuhkan bukti kuat menjadi penghambat utama dalam penyitaan aset.