Setiap tahun, ribuan pencari kerja di Indonesia menghadiri job fair dengan membawa harapan besar: mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka berbondong-bondong menuju lokasi acara, mengenakan pakaian rapi, dan membawa dokumen lengkap, seperti curriculum vitae dan sertifikat pendukung. Namun, di balik semarak acara tersebut, ada satu kenyataan yang jarang diungkap secara gamblang: job fair ternyata belum mampu menjadi solusi efektif untuk menekan angka pengangguran di Indonesia.
Pengangguran adalah masalah kompleks yang mencakup banyak aspek, mulai dari pendidikan, keterampilan, hingga kondisi ekonomi makro. Job fair, meskipun sering dipromosikan sebagai solusi, kerap kali hanya menjadi bagian kecil dari puzzle besar yang belum mampu menyelesaikan masalah ini secara menyeluruh.
Ketidaksesuaian Kebutuhan dan Kompetensi
Salah satu hambatan terbesar adalah ketidaksesuaian antara kebutuhan perusahaan dan kompetensi pencari kerja. Banyak lowongan yang ditawarkan pada job fair membutuhkan kualifikasi tertentu, seperti pengalaman kerja minimal dua tahun atau keahlian teknis yang spesifik. Sayangnya, tidak semua pencari kerja memiliki keahlian atau pengalaman yang sesuai.Â
Sebagai contoh, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di kalangan lulusan perguruan tinggi mencapai 6,35%. Ini mengindikasikan bahwa meskipun seseorang memiliki pendidikan tinggi, tidak ada jaminan mereka akan langsung mendapatkan pekerjaan.
Seorang lulusan jurusan manajemen, misalnya, mungkin kesulitan mendapatkan pekerjaan di bidang teknologi informasi yang sedang berkembang pesat. Hal ini karena keterampilan teknis, seperti penguasaan bahasa pemrograman, jarang diajarkan secara mendalam di luar program studi yang relevan. Akibatnya, banyak pencari kerja merasa tidak kompetitif saat melamar pekerjaan yang tersedia di job fair.
Ketimpangan Geografis
Job fair sering kali diadakan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Bagi pencari kerja yang tinggal di daerah terpencil, menghadiri acara seperti ini adalah tantangan besar. Biaya transportasi, akomodasi, dan waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan menjadi kendala utama. Meski ada upaya mengadakan virtual job fair, tidak semua pencari kerja di daerah memiliki akses internet yang memadai.
Seperti cerita Budi, seorang lulusan SMA dari Lampung yang berharap mendapatkan pekerjaan di Jakarta melalui job fair. Dia menghabiskan tabungannya untuk membeli tiket bus dan mencetak dokumen lamaran.Â
Sayangnya, setibanya di lokasi, Budi hanya menemukan lowongan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Perjalanan panjang itu berakhir dengan kekecewaan, dan dia harus kembali ke kampung halamannya tanpa hasil.