Konflik Sosial dan Polarisasi
Selain masalah biaya, pilkada juga sering memicu konflik sosial. Pertarungan politik yang sengit kerap kali merembet ke masyarakat, terutama di daerah-daerah dengan tingkat pendidikan politik yang rendah yang mengakibatkan kerusuhan dan juga perpecahan . antarpendukung menjadi salah satu dampak negatif yang sulit dihindari.
Misalnya, pilkada di beberapa wilayah seperti Papua, Sulawesi, dan Sumatra pernah diwarnai oleh bentrok fisik, bahkan kerusuhan. Konflik semacam ini tidak hanya merugikan masyarakat secara sosial, tetapi juga menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Pilkada Serentak
Pada tahun 2015, pemerintah memperkenalkan pilkada serentak sebagai bagian dari upaya efisiensi dan konsolidasi demokrasi. Dengan menggabungkan pemilihan di berbagai daerah dalam satu waktu, diharapkan biaya dapat ditekan dan tingkat partisipasi masyarakat meningkat.
Hal ini tentu juga menimbulkan masalah, salah satu masalahnya adalah beban kerja yang meningkat bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu dalam mengawasi penyelenggaraan Pilkada di ratusan daerah secara bersamaan.Â
Selain itu, Pilkada serentak juga sering kali membuat perhatian media dan publik terpecah, sehingga ada daerah yang kurang mendapat sorotan, meskipun memiliki isu penting yang harus diawasi.
Namun, ada juga sisi positifnya. Pilkada serentak memberikan efisiensi anggaran yang signifikan. Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa biaya Pilkada dapat ditekan hingga 30% dibandingkan sistem sebelumnya. Ini menjadi bukti bahwa meskipun penuh tantangan, sistem ini tetap memiliki manfaat nyata.
Digitalisasi dan Era Informasi
Di era digital, pilkada menghadapi tantangan baru berupa penyebaran informasi yang tidak terkendali. Hoaks dan ujaran kebencian sering kali digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan politik. Contohnya adalah penyebaran hoaks terkait isu agama dan suku yang sempat memanas dalam beberapa pilkada besar, seperti di Jakarta dan Jawa Barat.
Media sosial menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, platform ini memberikan ruang bagi kandidat untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat. Di sisi lain, media sosial juga menjadi ladang subur bagi manipulasi informasi. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu terus memperkuat regulasi dan pengawasan untuk meminimalkan dampak negatif ini.