Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu tonggak penting dalam demokrasi di Indonesia. Melalui pilkada, masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan membawa arah pembangunan daerah mereka selama lima tahun ke depan.Â
Namun, di balik perannya yang penting , pilkada memiliki sejarah panjang yang penuh dinamika, tantangan, dan pembelajaran yang penting untuk dipahami. disini kita akan mengupas perjalanan panjang pilkada di Indonesia, termasuk masalah yang muncul, langkah perbaikan, serta harapan di masa depan.
Awal Mula Pilkada
Pilkada pertama kali diperkenalkan pada tahun 2005 sebagai bagian dari reformasi demokrasi pasca-Orde Baru. Sebelumnya, pada masa Orde Baru (1966--1998), Pilkada dilakukan secara tidak langsung. Kepala daerah dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan usulan pemerintah pusat. Sistem ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.Â
Namun, praktik ini dianggap jauh dari nilai demokrasi. Pemilihan seringkali menjadi formalitas belaka, dengan hasil yang hampir pasti mendukung kepentingan politik pusat. Sehingga sistem perwakilan ini sering menuai kritik karena dianggap tidak mencerminkan aspirasi masyarakat secara langsung dan rentan terhadap praktik korupsi.
Pemilihan langsung dianggap sebagai jawaban atas kebutuhan untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka. Namun, implementasi awal pilkada langsung juga membawa tantangan baru, seperti tingginya biaya politik, konflik antarpendukung, dan rendahnya partisipasi di beberapa wilayah terpencil.
Tantangan Tingginya Biaya Politik
Salah satu masalah utama dalam pilkada adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh kandidat. Biaya kampanye, logistik, dan strategi pencitraan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Banyaknya calon kepala daerah menghabiskan dana besar untuk kampanye, yang sering kali mendorong mereka mencari "modal balik" melalui praktik korupsi setelah terpilih.Â
Menurut data KPK, lebih dari 60 persen kasus korupsi di Indonesia melibatkan kepala daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa tingginya biaya politik tidak hanya menjadi beban bagi kandidat, tetapi juga membuka peluang bagi praktik korupsi yang menghambat pembangunan daerah.
Tidak hanya itu karena besarnya biaya kampanye sering kali juga mendorong kandidat untuk mencari sponsor atau donatur yang jatuhnya mempengaruhi kebijakan publik . Akibatnya, kepala daerah yang terpilih sering kali terjebak dalam konflik kepentingan kepada sponsornya, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.Â