Bayangkan kamu sedang menunggu bus di halte yang baru saja direnovasi. Catnya masih segar, kursinya nyaman, dan atapnya melindungimu dari terik matahari. Namun, hanya berselang beberapa bulan, coretan vandal mulai muncul di dindingnya, kursi-kursinya patah, bahkan kaca penutupnya hancur. Pemandangan seperti ini sayangnya bukan hal asing di berbagai tempat di Indonesia. Apa yang sebenarnya terjadi hingga masyarakat begitu mudah merusak fasilitas umum yang seharusnya menjadi milik bersama?
Kenapa Fasilitas Umum Jadi Sasaran?
Perilaku merusak fasilitas umum dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya rasa memiliki. Banyak orang memandang fasilitas umum sebagai sesuatu yang "bukan milik saya," melainkan milik pemerintah. Persepsi ini membuat masyarakat merasa tidak bertanggung jawab untuk menjaga atau merawatnya. Padahal, fasilitas umum dibiayai dari pajak yang dibayar oleh masyarakat, termasuk dirimu.
Selain itu, ada kurangnya kesadaran sosial. Tidak sedikit orang yang terjebak dalam "mentalitas massa," di mana mereka ikut-ikutan merusak hanya karena melihat orang lain melakukannya. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai social proof. Ketika seseorang melihat dinding halte penuh coretan, mereka cenderung berpikir, "Toh, sudah rusak. Tambah satu coretan pun tidak masalah." Pola pikir ini sangat merusak karena mempercepat degradasi fasilitas.
Faktor lainnya adalah frustrasi sosial. Beberapa orang merusak fasilitas umum sebagai bentuk pelampiasan terhadap tekanan hidup atau ketidakpuasan terhadap pemerintah. Coretan-coretan berupa protes atau simbol tertentu sering kali ditemukan di fasilitas umum. Meskipun protes adalah hak setiap warga, mengekspresikannya dengan cara yang merusak justru merugikan banyak pihak.
Contoh yang Mengkhawatirkan
Kasus perusakan fasilitas umum terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu contoh nyata adalah kerusakan taman kota di Jakarta. Setelah dibangun dengan biaya miliaran rupiah, taman yang seharusnya menjadi ruang hijau untuk masyarakat malah dipenuhi sampah, tanaman yang diinjak-injak, hingga fasilitas olahraga yang dirusak. Menurut laporan media lokal, hanya dalam waktu enam bulan, lebih dari 40% fasilitas taman sudah tidak layak pakai.
Contoh lainnya adalah kerusakan stasiun MRT Jakarta. Pada awal pengoperasiannya, stasiun MRT menjadi kebanggaan nasional. Namun, vandalisme seperti coretan di dinding dan perusakan lift mulai bermunculan. Kejadian ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah masyarakat kita benar-benar siap menikmati fasilitas modern?
Tidak hanya di kota besar, di daerah pun perilaku serupa terjadi. Beberapa desa wisata yang mengandalkan keindahan alam juga menjadi korban. Contohnya, papan petunjuk yang dirusak atau kursi taman yang dicuri. Padahal, fasilitas ini tidak hanya menunjang kebutuhan wisatawan tetapi juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat lokal.
Dampak yang Ditimbulkan