Pada suatu pagi di sebuah kawasan perkotaan, seorang petugas kebersihan mengeluh sambil memilah tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. "Kalau masyarakat mau memilah sampah sejak di rumah, pekerjaan kami tidak akan seberat ini," ungkapnya. Pemandangan ini bukanlah hal asing di berbagai kota di Indonesia. Sampah rumah tangga, mulai dari sisa makanan, plastik, hingga kertas, sering kali tercampur dalam satu kantong besar tanpa dipilah terlebih dahulu. Padahal, memilah sampah adalah langkah awal menuju pengelolaan lingkungan yang lebih baik dan berkelanjutan. Namun, mengapa kebiasaan sederhana ini masih sulit diterapkan?
Mengapa Penting Memilah Sampah?
Memilah sampah sebenarnya lebih dari sekadar memisahkan plastik dari organik. Kebiasaan ini adalah kunci untuk mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA) yang kian penuh dan mencegah pencemaran lingkungan. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023 menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton sampah per tahun, dengan 15,3 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik. Sayangnya, lebih dari 50% sampah tersebut berakhir di TPA tanpa proses daur ulang.
Ketika sampah organik dan anorganik tidak dipisahkan, proses daur ulang menjadi jauh lebih sulit. Plastik yang terkontaminasi sisa makanan, misalnya, memerlukan proses pembersihan tambahan yang memakan biaya. Di sisi lain, sampah organik yang tidak diolah dengan benar akan menghasilkan gas metana, gas rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global.
Namun, memilah sampah tidak hanya berdampak pada lingkungan. Banyak contoh konkret yang menunjukkan manfaat ekonomi dari kebiasaan ini. Di daerah Malang, misalnya, komunitas bank sampah berhasil mengubah sampah daur ulang menjadi pundi-pundi uang. Warga yang memilah sampah di rumah bisa menukarnya dengan uang atau kebutuhan sehari-hari. Dengan cara ini, sampah yang sebelumnya dianggap tidak berguna menjadi sumber penghasilan tambahan.
Mengapa Kesadaran Masyarakat Masih Rendah?
Meskipun manfaat memilah sampah begitu jelas, sebagian besar masyarakat masih mengabaikannya. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya edukasi yang memadai. Di banyak daerah, sosialisasi tentang pentingnya memilah sampah sering kali hanya bersifat seremonial, tanpa menyentuh akar permasalahan. Sebagai contoh, di sekolah-sekolah, edukasi lingkungan masih dianggap sebagai mata pelajaran tambahan, bukan bagian dari kurikulum utama.
Selain itu, masyarakat kerap kali merasa bahwa memilah sampah adalah tugas yang merepotkan. Tidak jarang muncul anggapan, "Mengapa harus repot memilah, kalau nanti juga dicampur lagi di tempat pembuangan?" Anggapan ini tidak sepenuhnya salah. Di beberapa daerah, pengelolaan sampah di tingkat pemerintah masih kurang terintegrasi. Petugas kebersihan kerap mencampur sampah yang sudah dipilah warga karena tidak adanya fasilitas daur ulang yang memadai. Hal ini tentu saja menurunkan semangat masyarakat untuk terus memilah.
Kendala lain adalah minimnya fasilitas pendukung. Di banyak wilayah, tong sampah dengan kategori terpisah seperti organik, anorganik, dan residu masih sulit ditemukan. Bahkan di kota besar seperti Jakarta, fasilitas ini belum merata di seluruh wilayah. Padahal, jika tersedia fasilitas yang jelas dan mudah diakses, masyarakat akan lebih terdorong untuk mulai memilah sampah.
Langkah Nyata untuk Meningkatkan Kesadaran