Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Krisis Kesehatan Mental Menghantui Gen Z Indonesia

22 November 2024   16:15 Diperbarui: 22 November 2024   17:18 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pria Depresi. Pixabay.com/whoismargot

Selain tekanan sosial yang datang dari media sosial, Generasi Z juga harus menghadapi tekanan akademik yang tak kalah berat. Dalam beberapa tahun terakhir, sistem pendidikan di Indonesia semakin menuntut prestasi akademik yang tinggi. Ujian, tugas, dan harapan untuk masuk universitas terbaik membuat banyak pelajar merasa terjepit. Apalagi, di banyak keluarga, ada ekspektasi tinggi untuk anak-anak mereka agar bisa mencapai kesuksesan dalam waktu yang relatif singkat.

Di beberapa kasus, harapan yang diberikan orang tua terlalu tinggi dan membuat remaja merasa bahwa mereka harus selalu sempurna. Jika mereka gagal atau merasa tidak mencapai target, perasaan kecewa dan cemas muncul. Bahkan, beberapa remaja merasa tidak ada ruang bagi mereka untuk berbuat salah atau gagal. Hal ini dapat memicu rasa stres yang berlarut-larut dan berujung pada gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.

Tantangan yang lebih besar adalah kenyataan bahwa di Indonesia, pembicaraan tentang kesehatan mental dalam keluarga sering kali dianggap tabu. Sebagian besar orang tua merasa bahwa kesehatan mental tidak lebih penting daripada kesehatan fisik, atau bahkan ada yang menganggap bahwa gangguan mental hanya terjadi pada orang yang "lemah". Akibatnya, remaja merasa kesulitan untuk mencari dukungan, baik dari keluarga maupun teman-teman mereka.

Pandemi COVID-19 Memperburuk Krisis Kesehatan Mental

Pandemi COVID-19 memperburuk situasi yang sudah ada. Selama lockdown, banyak remaja yang kehilangan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan teman-teman mereka, yang merupakan salah satu cara utama untuk meredakan stres. Belum lagi, masalah ekonomi yang muncul akibat pandemi menambah kekhawatiran mereka tentang masa depan. Mereka semakin terjebak dalam ketidakpastian yang tak hanya memengaruhi keadaan ekonomi keluarga, tetapi juga kesejahteraan mental mereka.

Penutupan sekolah dan kampus membuat banyak remaja merasa terisolasi, yang berdampak pada peningkatan kecemasan dan depresi. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan oleh International Journal of Environmental Research and Public Health (IJERPH) pada tahun 2021, hampir 40% remaja yang mengikuti survei tersebut melaporkan bahwa mereka mengalami gangguan kecemasan atau depresi selama pandemi.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Menghadapi krisis kesehatan mental pada Generasi Z Indonesia memang bukan perkara mudah, tetapi bukan berarti tidak ada solusi. Untuk mulai mengatasi masalah ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak.

  1. Pentingnya Edukasi tentang Kesehatan Mental
    Pendidikan tentang kesehatan mental harus dimulai sejak dini. Di sekolah-sekolah, seharusnya ada kurikulum yang membahas bagaimana cara mengelola stres, mengenali tanda-tanda gangguan mental, dan mencari bantuan jika diperlukan.

  2. Menciptakan Ruang Dukungan yang Aman
    Keluarga dan teman-teman seharusnya menjadi tempat yang aman untuk berbicara tentang masalah mental. Orang tua perlu lebih memahami bahwa anak-anak mereka juga butuh dukungan emosional. Selain itu, sekolah dan kampus harus menyediakan konseling yang mudah diakses dan tidak menambah stigma terhadap kesehatan mental.

  3. Meningkatkan Akses Terhadap Layanan Kesehatan Mental
    Akses terhadap layanan kesehatan mental harus diperluas. Psikolog dan psikiater perlu lebih banyak tersedia, terutama di kota-kota kecil. Teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan layanan konseling jarak jauh yang lebih terjangkau.

  4. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Healthy Selengkapnya
    Lihat Healthy Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun