Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media Sosial jadi Wadah Flexing

22 November 2024   13:27 Diperbarui: 22 November 2024   13:39 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persaingan Tidak Sehat
Beberapa orang melihat media sosial sebagai arena kompetisi. Siapa yang lebih kaya? Siapa yang lebih bahagia? Persaingan ini sering kali membuat seseorang merasa harus terus-menerus membuktikan diri melalui unggahan mereka.

  • Validasi Diri
    Flexing juga bisa menjadi cara untuk meningkatkan rasa percaya diri. Ketika seseorang merasa kurang dihargai di dunia nyata, media sosial sering menjadi pelarian untuk mencari pengakuan.

  • Dampak Flexing pada Pengguna Media Sosial

    Meski terlihat sepele, flexing memiliki dampak signifikan, baik positif maupun negatif, terutama pada kesehatan mental.

    Dampak Positif

    Flexing tidak selalu buruk. Dalam beberapa kasus, ini bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Misalnya, seorang pebisnis muda yang memamerkan kesuksesannya bisa memotivasi banyak orang untuk bekerja keras demi mencapai tujuan yang sama. Selain itu, flexing juga bisa menjadi alat personal branding, terutama bagi mereka yang bekerja di industri kreatif, fashion, atau gaya hidup.

    Dampak Negatif

    Namun, sisi gelap flexing tidak bisa diabaikan. Terlalu sering terpapar konten pamer bisa menimbulkan rasa minder, iri, hingga depresi. Fenomena ini disebut dengan Fear of Missing Out (FOMO), di mana seseorang merasa tertinggal karena tidak bisa mengikuti gaya hidup yang ditampilkan di media sosial.

    Selain itu, flexing juga bisa menciptakan tekanan finansial. Banyak orang yang rela berhutang demi memenuhi standar hidup yang tidak realistis. Sebuah penelitian oleh Indonesian Consumer Insight Report menemukan bahwa 40% milenial di Indonesia menggunakan kartu kredit untuk membeli barang yang akan mereka pamerkan di media sosial.

    Antara Realitas dan Pencitraan

    Kasus Budi (bukan nama sebenarnya) bisa menjadi contoh nyata dampak flexing. Seorang karyawan biasa dengan gaji pas-pasan, Budi terobsesi untuk tampil mewah di media sosial. Ia sering mengunggah foto di restoran mahal dan liburan ke luar negeri. Namun, di balik itu semua, Budi memiliki utang kartu kredit yang menumpuk. "Saya ingin terlihat sukses seperti teman-teman saya. Kalau tidak, rasanya minder," akunya.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun