Pagi itu, Leo kembali melangkah menuju kantor pelayanan publik di kotanya. Di tangannya, tergenggam kertas laporan tentang jalan berlubang di depan rumahnya yang sudah ia sampaikan tiga bulan lalu. Namun, hingga kini, jalan tersebut tetap tak tersentuh perbaikan. Leo hanya ingin lingkungannya lebih aman, terutama bagi anak-anak yang kerap bermain di sekitar situ. Tapi sayangnya, semua usahanya terasa seperti angin lalu.
Fenomena seperti yang dialami Leo bukanlah cerita baru. Banyak dari kita mungkin juga pernah menghadapi situasi serupa mengajukan pengaduan hanya untuk berakhir dengan rasa kecewa. Tempat pengaduan masyarakat, yang sejatinya menjadi saluran komunikasi antara warga dan pemerintah, justru sering kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Mengapa Sistem Pengaduan Masyarakat Masih Bermasalah?
Ada banyak alasan mengapa tempat pengaduan masyarakat belum mampu memenuhi ekspektasi publik. Masalah pertama terletak pada birokrasi yang berbelit-belit. Setiap laporan biasanya harus melalui berbagai tahapan sebelum mendapatkan perhatian serius. Dari meja petugas pelayanan hingga ke pejabat terkait, prosesnya memakan waktu lama, sering kali tanpa ada jaminan tindak lanjut.
Kemudian, ada pula persoalan kurangnya transparansi. Banyak tempat pengaduan yang tidak menyediakan informasi kepada pelapor tentang status laporan mereka. Akibatnya, masyarakat seperti Maya sering kali bertanya-tanya: Apakah laporan saya sedang diproses? Apakah laporan saya diabaikan? Ketidakjelasan ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun.
Selain itu, teknologi yang diharapkan menjadi solusi sering menjadi penghambat. Di beberapa daerah, pemerintah telah meluncurkan aplikasi atau platform digital untuk pengaduan masyarakat. Namun, banyak dari aplikasi ini tidak dirancang dengan baik, sering mengalami gangguan, atau sulit digunakan oleh masyarakat awam. Belum lagi, tidak semua orang memiliki akses ke perangkat digital atau internet yang stabil, sehingga banyak pengaduan gagal diterima.
Sebuah laporan dari Lembaga Ombudsman Republik Indonesia menyebutkan bahwa salah satu keluhan paling sering dilaporkan masyarakat adalah pelayanan publik yang lambat dan tidak profesional. Bahkan, pada 2023, hampir 40% pengaduan masyarakat di sektor ini tidak terselesaikan tepat waktu. Ini menunjukkan bahwa persoalan bukan hanya pada sistem, tetapi juga pada kemampuan sumber daya manusia yang ada.
Dampak Buruk Jika Pengaduan Tidak Ditanggapi
Ketika keluhan masyarakat diabaikan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh komunitas secara keseluruhan. Jalan berlubang yang tidak diperbaiki, misalnya, dapat menyebabkan kecelakaan yang berulang. Sampah yang menumpuk di sudut kota karena pengaduan tidak ditindaklanjuti, berpotensi menyebarkan penyakit. Hal-hal ini menciptakan siklus masalah yang pada akhirnya merugikan banyak pihak.
Selain itu, kegagalan sistem pengaduan dapat menurunkan rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Jika warga merasa suara mereka tidak didengar, mereka cenderung menjadi apatis dan berhenti berpartisipasi dalam pembangunan daerah. Padahal, keterlibatan masyarakat adalah kunci keberhasilan pembangunan.