Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) diinisiasi pemerintah sebagai salah satu solusi untuk mengatasi tantangan pendidikan di Indonesia. Tujuannya jelas, yaitu memastikan semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang layak, tanpa terhambat oleh kondisi ekonomi keluarga.Â
Dalam program ini, siswa dari keluarga prasejahtera diberikan bantuan dana untuk meringankan biaya sekolah, seperti biaya seragam, buku, hingga uang saku. Di atas kertas, KIP adalah ide yang luar biasa, tetapi dalam praktiknya di lapangan, banyak masalah yang membuat distribusi bantuan ini belum merata dan sering kali tidak tepat sasaran.
Bayangkan cerita  Tono (nama samaran) , seorang siswa sekolah menengah pertama dari sebuah desa kecil di sumatera utara. Tono adalah anak yang rajin dan cerdas, tetapi keluarganya sangat terbatas secara ekonomi.Â
Ayah Tono hanya bekerja sebagai buruh tani yang penghasilannya tidak menentu. Ibu Tono, seorang ibu rumah tangga, kadang bekerja serabutan membantu tetangga. Dengan penghasilan keluarga yang sangat minim, membiayai pendidikan Tono menjadi tantangan besar. Ketika mendengar bahwa Kartu Indonesia Pintar tersedia, keluarganya merasa ada harapan.Â
Namun, bantuan yang ditunggu tak pernah datang. Tono dan keluarganya harus berjuang sendiri untuk biaya sekolah, sementara di kota besar lain, ada anak-anak dari keluarga mampu yang justru menerima bantuan KIP. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada Tono, tetapi pada ribuan anak-anak dari keluarga prasejahtera di berbagai wilayah Indonesia.
Masalah utama yang dihadapi program KIP adalah ketidakmerataan dan ketidaktepatan sasaran. Di beberapa daerah terpencil, banyak keluarga yang seharusnya menjadi penerima bantuan justru tidak mendapatkan KIP, sementara di kota-kota besar, ada keluarga mampu yang malah mendapatkannya.Â
Permasalahan ini muncul akibat berbagai faktor yang saling berkaitan, mulai dari kurangnya validasi data penerima, kelemahan sistem pendataan, hingga rendahnya pemahaman masyarakat tentang prosedur pengajuan bantuan.
Salah satu penyebab utama ketidakmerataan ini adalah akses informasi yang terbatas di daerah pedesaan. Banyak keluarga yang sebenarnya memenuhi syarat penerima KIP tetapi tidak tahu cara mengurusnya atau bahkan tidak tahu bahwa program ini ada. Keterbatasan akses internet dan informasi di daerah pedalaman menjadi salah satu kendala utama, sehingga sosialisasi program KIP tidak sepenuhnya sampai ke masyarakat yang paling membutuhkan. Dalam beberapa kasus, pemerintah daerah juga belum optimal dalam menjangkau komunitas terpencil dan menginformasikan keberadaan program ini.
Lebih lanjut, ada juga kendala dalam proses pendataan yang kurang akurat. Penentuan penerima manfaat KIP berdasarkan data kependudukan dan kesejahteraan sosial masih sering kali tidak akurat. Sistem yang digunakan untuk memproses data penerima manfaat ini belum sepenuhnya terintegrasi dan teraktualisasi dengan baik.
 Contoh nyatanya bisa dilihat dalam beberapa survei yang menunjukkan bahwa beberapa siswa dari keluarga yang sebenarnya tidak layak menerima bantuan malah mendapatkan KIP, sementara siswa dari keluarga prasejahtera tidak terdata. Kasus seperti ini menggambarkan kelemahan mendasar dalam sistem pendataan yang perlu dibenahi agar program KIP dapat lebih tepat sasaran.