Dalam beberapa tahun terakhir, wacana tentang pendidikan di Indonesia selalu menarik perhatian masyarakat. Salah satu topik yang kini hangat diperbincangkan adalah soal penghapusan Ujian Nasional (UN) dan usulan untuk mengembalikannya. Sejak dihapus pada tahun 2020, UN digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan survei karakter. Munculnya wacana untuk menghidupkan kembali UN memicu perdebatan: apakah langkah ini benar-benar dapat memperbaiki kualitas pendidikan atau justru akan membawa kembali masalah yang pernah ada?
Artikel ini akan mencoba membahas alasan-alasan mengapa wacana pengembalian UN mencuat kembali, dampak dari perubahan ini, serta pertimbangan apakah mengembalikan UN adalah solusi terbaik untuk pendidikan di Indonesia.
Mengapa Ujian Nasional Dihapuskan?
Ujian Nasional pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 2002 dengan tujuan untuk menjadi alat ukur yang seragam dalam menilai kemampuan akademik siswa di seluruh Indonesia. Pada masa itu, UN dianggap sebagai tolok ukur nasional yang mampu memberikan gambaran mengenai pencapaian siswa secara menyeluruh dalam berbagai mata pelajaran penting. Hasil UN juga sering kali menjadi faktor penentu kelulusan, yang membuatnya memiliki peran sangat penting dalam perjalanan pendidikan siswa.
Namun, seiring berjalannya waktu, UN mulai mendapat banyak kritikan. Salah satu kritik utama adalah bahwa UN sering menimbulkan tekanan psikologis yang besar bagi siswa. Bayangkan seorang siswa kelas 12 yang telah berjuang belajar selama bertahun-tahun, tetapi masa depan akademisnya bergantung pada hasil UN yang berlangsung hanya beberapa hari. Siswa yang cerdas pun bisa merasa stres dan tertekan menghadapi ujian yang dianggap sangat menentukan masa depan mereka.
Selain itu, UN dinilai membuat pola pembelajaran yang "berorientasi pada ujian" atau teaching to the test. Sekolah-sekolah, khususnya di jenjang menengah, terkadang lebih fokus mempersiapkan siswa untuk lulus UN ketimbang mengajarkan pengetahuan yang lebih luas atau keterampilan hidup yang penting. Alhasil, siswa didorong untuk menghafal materi ujian ketimbang memahami konsep-konsep secara mendalam atau belajar berpikir kritis. Kondisi ini, tentu saja, kurang ideal untuk menghasilkan generasi yang mampu berpikir kreatif dan analitis.
Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) Lebih Baik?
Penghapusan UN pada tahun 2020 memberikan ruang bagi lahirnya Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang menilai literasi membaca, numerasi, dan survei karakter siswa. AKM difokuskan pada keterampilan dasar yang dianggap lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan masyarakat. AKM juga tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, melainkan sebagai alat evaluasi untuk mengukur tingkat kompetensi siswa dalam keterampilan dasar yang penting untuk masa depan mereka.
Dengan AKM, pemerintah berharap dapat mengubah arah pendidikan di Indonesia agar lebih fokus pada pengembangan kompetensi nyata, bukan sekadar angka di atas kertas. Konsep ini terdengar bagus, tetapi di lapangan masih ada kendala. Salah satu tantangan utama AKM adalah perbedaan kualitas pendidikan antarwilayah. AKM yang lebih fleksibel membutuhkan kesiapan guru dan infrastruktur pendidikan yang memadai agar dapat berjalan dengan baik, tetapi kenyataannya banyak sekolah yang masih kekurangan tenaga pengajar berkualitas, serta terbatas dalam hal fasilitas pendukung.
Selain itu, AKM juga dinilai tidak memiliki "pengaruh kuat" seperti UN dalam mendorong siswa untuk belajar lebih giat, karena hasil AKM tidak menentukan kelulusan. Ini membuat sebagian orang merasa bahwa AKM kurang efektif dalam memotivasi siswa untuk berprestasi. Sejumlah pihak meyakini bahwa UN, meskipun memiliki beberapa kelemahan, setidaknya mampu memberikan tolak ukur yang jelas dan memotivasi siswa untuk mencapai standar tertentu.
Kembali ke UN Solusi atau Langkah Mundur?
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah mengembalikan UN benar-benar solusi yang efektif? Ada beberapa argumen kuat dari kedua sisi yang layak untuk dipertimbangkan.
Menjaga Standar Nasional
Mengembalikan UN dinilai bisa membantu menjaga standar pendidikan yang seragam di seluruh wilayah Indonesia. Dengan UN, pemerintah memiliki data yang jelas mengenai pencapaian siswa dalam berbagai mata pelajaran inti. Data ini bisa menjadi dasar bagi evaluasi nasional yang akan sangat membantu dalam memahami daerah-daerah mana yang membutuhkan perhatian khusus. Jika kembali diadakan, UN mungkin bisa menjadi alat bagi pemerintah untuk menilai efektivitas kurikulum dan membantu mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah.
Motivasi Belajar Siswa
UN dulu berperan sebagai motivator bagi siswa untuk belajar lebih serius. Tidak sedikit siswa yang merasa "terpacu" untuk berusaha lebih keras karena tahu bahwa kelulusan mereka dipertaruhkan. Dengan tidak adanya UN, ada kekhawatiran bahwa sebagian siswa menjadi kurang termotivasi. Memang, pendidikan seharusnya tidak hanya soal ujian, namun sedikit tekanan sering kali dibutuhkan untuk membangun kedisiplinan dan dorongan belajar siswa.
Potensi Dampak Psikologis Negatif
Namun, sisi negatifnya, mengembalikan UN mungkin akan kembali memicu stres bagi siswa. Beban psikologis karena "takut tidak lulus" bisa berdampak negatif pada mental siswa, khususnya bagi mereka yang kurang siap menghadapi tekanan besar. Di sisi lain, bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik terbatas, UN bisa menjadi hambatan yang malah membuat mereka merasa tidak mampu atau minder. Potensi dampak ini perlu dipertimbangkan dengan serius, agar kita tidak membebani siswa dengan tekanan yang sebetulnya tidak perlu.
Tantangan dalam Implementasi Kurikulum Merdeka
Indonesia saat ini sedang dalam proses menerapkan Kurikulum Merdeka yang lebih fleksibel dan berfokus pada minat serta kemampuan siswa. Mengembalikan UN bisa jadi kontraproduktif bagi tujuan dari kurikulum baru ini, yang justru mendorong pembelajaran yang berpusat pada murid dan pengembangan kompetensi holistik. Kurikulum Merdeka bertujuan untuk memberikan siswa kebebasan belajar yang lebih luas tanpa tekanan dari ujian nasional, sehingga menghidupkan kembali UN bisa membuat penerapan kurikulum ini menjadi tidak optimal.
Sistem Evaluasi yang Fleksibel dan Terukur
Sebagai alternatif, beberapa pakar pendidikan menyarankan agar penilaian siswa dilakukan dengan cara yang lebih fleksibel, misalnya menggunakan sistem asesmen yang tidak semata-mata berorientasi pada ujian. Pemerintah dapat menerapkan sistem penilaian berbasis proyek, penilaian portofolio, dan asesmen kompetensi yang mampu mencerminkan kemampuan siswa secara holistik. Sistem ini bisa dilaksanakan dengan lebih baik jika didukung oleh pelatihan guru yang berkualitas dan sarana-prasarana yang memadai.
Kesimpulan
Pada akhirnya, mengembalikan UN bukanlah solusi sederhana untuk masalah pendidikan di Indonesia. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, termasuk kebutuhan akan evaluasi yang seragam, pentingnya menjaga kesehatan mental siswa, serta tantangan dalam penerapan kurikulum yang lebih fleksibel. Idealnya, kebijakan pendidikan harus menciptakan lingkungan belajar yang mendukung siswa untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka tanpa tekanan berlebih, namun tetap memberikan standar yang jelas.
Pendidikan yang berkualitas bukan soal nilai ujian semata, tetapi tentang bagaimana kita mampu membentuk generasi yang berpikir kritis, kreatif, dan siap menghadapi dunia nyata. Jika pengembalian UN dapat dirancang sedemikian rupa sehingga tetap memberikan standar namun tidak membebani siswa, mungkin itu bisa menjadi solusi. Tetapi, yang lebih penting adalah memastikan bahwa pendidikan kita berjalan secara inklusif, merata, dan berorientasi pada pengembangan diri siswa.
Maka, sebelum memutuskan untuk menghidupkan kembali UN, alangkah baiknya jika pemerintah, pendidik, serta masyarakat bersama-sama memikirkan pendekatan yang paling sesuai untuk masa depan pendidikan anak-anak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H