Omnibus Law juga mengubah aturan terkait kontrak kerja dan PHK. Jika sebelumnya perusahaan diwajibkan untuk mematuhi aturan tertentu sebelum memutuskan hubungan kerja, kini proses PHK menjadi lebih mudah dan tidak lagi memerlukan prosedur yang ketat. Sebagai contoh, seorang pekerja kontrak bisa diberhentikan kapan saja tanpa adanya perlindungan hukum yang kuat.
Situasi ini jelas lebih menguntungkan perusahaan, karena mereka bisa lebih mudah merampingkan tenaga kerja sesuai kebutuhan tanpa harus menghadapi proses hukum yang rumit. Bagi para pekerja, ini menjadi ancaman besar terhadap kestabilan karier dan keamanan finansial mereka. Ketidakpastian dalam kontrak kerja membuat para pekerja harus selalu siap menghadapi risiko kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu, yang pada akhirnya meningkatkan kecemasan dan stres.
Perizinan Lingkungan yang Mudah, Â Ancaman Bagi Alam dan Masyarakat?
Tidak hanya mengancam hak-hak pekerja, Omnibus Law juga memperlonggar aturan perizinan lingkungan bagi perusahaan. Sebelum adanya Omnibus Law, perusahaan harus memenuhi berbagai syarat dan ketentuan dalam hal pelestarian lingkungan sebelum mendapat izin operasional. Namun, dengan adanya UU Cipta Kerja, persyaratan lingkungan ini menjadi lebih mudah dan kurang ketat.
Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi perusahaan, terutama yang bergerak di sektor tambang, perkebunan, dan manufaktur, karena mereka bisa mengurangi biaya operasional dengan memangkas anggaran pelestarian lingkungan. Tapi, bagaimana dengan dampaknya bagi masyarakat? Kelonggaran dalam aturan lingkungan ini dapat menyebabkan kerusakan alam yang lebih cepat, pencemaran air dan udara, serta ancaman terhadap kesehatan masyarakat sekitar. Alih-alih menciptakan kesejahteraan, justru ancaman terhadap kesehatan dan lingkunganlah yang akan dihadapi oleh masyarakat di sekitar area industri.
Korporasi Besar di Atas Angin, Masyarakat Kecil Terpinggirkan
Kritik lain terhadap Omnibus Law adalah keberpihakannya yang lebih besar kepada korporasi-korporasi besar. Banyak yang menilai bahwa undang-undang ini lebih menguntungkan perusahaan dengan modal besar, yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai insentif dan kemudahan yang ditawarkan. Sebagai contoh, perusahaan besar dapat dengan mudah mengakses tenaga kerja murah dan lahan industri dengan biaya rendah, sementara usaha kecil justru sulit bersaing dan terancam kalah oleh dominasi perusahaan besar.
Dengan aturan yang lebih longgar bagi korporasi besar, ketimpangan ekonomi antara perusahaan besar dan masyarakat kecil semakin lebar. Pekerja menjadi lebih rentan, sementara keuntungan perusahaan meningkat. Kesenjangan ini pada akhirnya memicu ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan di masyarakat, di mana mereka merasa bahwa kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada segelintir elit ketimbang rakyat jelata.
Lemahnya Perlindungan bagi Serikat Pekerja
Serikat pekerja, yang selama ini menjadi wadah perjuangan bagi hak-hak pekerja, juga mengalami kesulitan dalam melawan arus Omnibus Law. Dengan undang-undang ini, perusahaan memiliki kuasa lebih besar dalam mengatur tenaga kerja, yang secara tidak langsung mengurangi kekuatan serikat pekerja. Pekerja semakin sulit menyuarakan aspirasi dan menuntut hak-haknya karena perusahaan memiliki kewenangan untuk membatasi peran serikat pekerja.
Dampaknya, keseimbangan kekuasaan antara perusahaan dan pekerja semakin timpang. Para pekerja yang dulu bisa mengandalkan serikat untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka, kini kehilangan wadah tersebut. Dengan kekuatan yang semakin terbatas, serikat pekerja tidak lagi memiliki pengaruh kuat untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi anggotanya.