Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peraturan Ada untuk Dilanggar, Kebiasaan Masyarakat Indonesia yang Mengakar

18 Oktober 2024   18:03 Diperbarui: 18 Oktober 2024   18:38 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan "peraturan ada untuk dilanggar" sering kali terdengar sebagai candaan di tengah masyarakat Indonesia. Namun, jika dicermati lebih dalam, ungkapan ini tidak sekadar lelucon. Ia mencerminkan realitas kebiasaan yang sudah mengakar di sebagian besar masyarakat kita. Peraturan yang dibuat untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan bersama kerap kali dianggap fleksibel, atau bahkan dianggap tidak perlu diikuti ketika tidak ada konsekuensi langsung. Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam skala kecil, tetapi sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Salah satu contoh nyata yang paling mudah ditemui adalah perilaku di jalan raya. Ketika berkendara, kamu pasti sering melihat pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm, atau mobil yang melanggar lampu merah. Padahal, helm dan rambu lalu lintas bukan hanya sekadar formalitas; mereka adalah aturan keselamatan yang bertujuan untuk melindungi setiap orang di jalan. Tetapi, banyak yang merasa aturan tersebut hanya berlaku jika ada polisi yang mengawasi. Fakta bahwa aturan itu bisa diabaikan ketika "aman dari pandangan" menunjukkan betapa rendahnya kesadaran terhadap pentingnya mematuhi peraturan.

Tidak hanya di jalan raya, di tempat umum pun sering kali kita temui pelanggaran peraturan yang dianggap remeh. Contohnya adalah budaya antre yang sering kali diabaikan. Di stasiun kereta, bank, atau pusat layanan umum lainnya, selalu ada saja orang yang mencoba memotong antrean. Mereka merasa waktu mereka lebih penting, sehingga merasa berhak mendahului orang lain. Padahal, antre adalah salah satu bentuk disiplin dan saling menghargai waktu serta hak orang lain.

Pelanggaran kecil seperti ini, meskipun terlihat sepele, sebenarnya mencerminkan masalah yang lebih besar. Jika satu orang melanggar peraturan, mungkin dampaknya tidak begitu terasa. Tetapi, jika banyak orang yang melakukannya, maka ketertiban pun akan runtuh. Masyarakat akan hidup dalam ketidakpastian karena aturan yang seharusnya menjadi pedoman bersama tidak lagi dihargai. Akibatnya, kekacauan sosial bisa saja terjadi, di mana setiap orang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa memperhatikan dampak terhadap orang lain.

Mengapa Kebiasaan Ini Begitu Mengakar di Masyarakat?

Ada beberapa faktor yang membuat kebiasaan melanggar peraturan begitu sulit dihilangkan. Pertama, lemahnya penegakan hukum dan pengawasan menjadi salah satu penyebab utama. Ketika pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi yang tegas, masyarakat merasa bahwa melanggar peraturan adalah hal yang biasa. Mereka percaya bahwa selama tidak tertangkap, maka tidak ada konsekuensi yang perlu dikhawatirkan. Contoh konkret bisa dilihat dari minimnya pengawasan terhadap pelanggaran lalu lintas di jalan-jalan kecil. Pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm, misalnya, sering kali merasa aman karena tidak ada polisi di sekitar.

Kedua, ada mentalitas yang berkembang di masyarakat bahwa melanggar peraturan "asal tidak merugikan orang lain" adalah hal yang bisa ditoleransi. Mentalitas ini menciptakan ruang bagi orang untuk mencari pembenaran ketika mereka melanggar aturan. Misalnya, seseorang mungkin merasa tidak masalah memotong antrean karena berpikir bahwa tindakannya hanya memengaruhi sedikit orang, dan orang lain bisa tetap melanjutkan antrean setelahnya. Padahal, tindakan seperti ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap hak orang lain dan prinsip keadilan.

Ketiga, beberapa aturan di Indonesia memang dianggap kurang relevan atau bahkan sulit untuk diterapkan. Misalnya, peraturan parkir di daerah-daerah padat penduduk sering kali tidak memadai, sehingga memaksa orang untuk parkir sembarangan. Di sini, masyarakat merasa terpaksa melanggar aturan bukan karena mereka ingin, tetapi karena tidak ada solusi yang lebih baik. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak semua pelanggaran muncul dari niat buruk, melainkan karena adanya ketidaksesuaian antara peraturan dengan kondisi lapangan.

Kaitan dengan Budaya Lokal

Fenomena melanggar peraturan juga tidak bisa dilepaskan dari budaya lokal. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang memiliki sifat gotong royong dan solidaritas tinggi, terkadang aturan dianggap fleksibel karena adanya "kebiasaan menolong" atau sikap saling membantu. Misalnya, ketika seseorang dikenai denda karena parkir sembarangan, bisa jadi orang di sekitarnya justru akan membantunya menghindari hukuman dengan mengintervensi pihak berwenang. Sikap seperti ini muncul dari niat baik untuk menolong, tetapi sering kali justru melanggengkan kebiasaan melanggar aturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun