Pembahasan mengenai kemiskinan dan ketimpangan sosial di Indonesia selalu menjadi topik hangat dalam diskusi publik. Pemerintah kerap menyampaikan klaim bahwa angka kemiskinan mengalami penurunan secara bertahap, terutama setelah berbagai program ekonomi diluncurkan. Namun, benarkah klaim tersebut mencerminkan realitas di lapangan? Lebih penting lagi, apakah penurunan angka kemiskinan ini juga diiringi dengan penurunan ketimpangan sosial? Dalam artikel ini, kita akan mengupas secara komprehensif mengenai apakah kedua indikator tersebut benar-benar menurun dan apa implikasinya bagi masyarakat.
Tren Penurunan Angka Kemiskinan: Apakah Cukup Menjanjikan?
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Indonesia memang menunjukkan tren penurunan. Pada tahun 2022, persentase penduduk miskin turun menjadi sekitar 9,54% dari total populasi, menurun dari 10,19% pada tahun sebelumnya. Dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat progres yang cukup signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan. Program bantuan sosial, seperti Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Prakerja, diklaim berhasil membantu masyarakat kurang mampu untuk tetap bertahan di tengah krisis.
Namun, angka kemiskinan yang dilaporkan sering kali dianggap tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat. Definisi kemiskinan yang digunakan BPS didasarkan pada garis kemiskinan nasional, yang pada 2022 berada di kisaran Rp 500.000 per bulan per kapita. Dengan kata lain, seseorang dianggap tidak miskin jika penghasilannya melebihi garis tersebut. Tetapi, apakah benar seseorang dengan pendapatan hanya sedikit di atas Rp 500.000 dapat dikatakan sudah bebas dari kemiskinan? Jika kita melihat dari perspektif kualitas hidup, angka ini terbilang sangat minim, terutama dengan semakin mahalnya kebutuhan hidup di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Selain itu, ada perbedaan besar antara kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merujuk pada ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Sementara itu, kemiskinan relatif membandingkan tingkat kesejahteraan seseorang dengan masyarakat lain di sekitarnya. Banyak orang yang secara statistik "tidak miskin" mungkin tetap merasa tertinggal secara sosial dan ekonomi jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lebih sejahtera.
Ketimpangan Sosial: Lebih Kompleks dari Sekadar Angka
Penurunan angka kemiskinan sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan program pemerintah. Namun, bagaimana dengan ketimpangan sosial? Indeks Gini, yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan, pada 2022 berada di angka 0,381. Meski menurun sedikit dari tahun sebelumnya, angka ini masih menunjukkan tingkat ketimpangan yang cukup tinggi. Semakin mendekati angka 1, semakin besar ketimpangan antara si kaya dan si miskin.
Faktanya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa meski angka kemiskinan menurun, ketimpangan sosial tetap menjadi masalah serius. Data dari Oxfam Indonesia mengungkapkan bahwa pada tahun 2020, hanya 1% orang terkaya di Indonesia yang menguasai sekitar 50% kekayaan nasional. Kondisi ini mencerminkan bahwa meskipun ada peningkatan ekonomi, distribusi kekayaan yang tidak merata masih menjadi tantangan besar.
Ketimpangan sosial tidak hanya dapat dilihat dari perbedaan pendapatan, tetapi juga dari akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. Masyarakat di wilayah perkotaan umumnya memiliki akses yang lebih baik terhadap fasilitas kesehatan berkualitas, sekolah yang layak, dan peluang kerja dengan gaji yang memadai. Sebaliknya, masyarakat di daerah pedesaan dan terpencil sering kali kesulitan mendapatkan akses yang sama. Misalnya, meski pendidikan dasar gratis, kualitas sekolah di pedesaan sering kali tidak sebanding dengan sekolah di perkotaan. Kondisi ini semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial antara kota dan desa.
Kemiskinan dan Pandemi COVID-19: Sebuah Ujian Berat