Era digital telah membawa banyak perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari cara kita berkomunikasi, berbelanja, hingga bekerja, hampir semuanya kini terintegrasi dengan dunia digital. Namun, di balik kemudahan ini, ada ancaman yang tidak bisa diabaikan, yaitu keamanan data pribadi. Setiap kali kita mengisi formulir online, mengunggah foto di media sosial, atau melakukan transaksi perbankan digital, data pribadi kita terekspos dan rentan terhadap penyalahgunaan. Ironisnya, meskipun kita hidup di era informasi, negara tampaknya belum mampu menjamin keamanan data warganya dengan baik.
Kebocoran Data, Fakta yang Tidak Terbantahkan
Salah satu isu yang paling mengkhawatirkan terkait keamanan data adalah maraknya kebocoran data pribadi. Kasus-kasus kebocoran data besar seperti yang dialami oleh e-commerce, layanan kesehatan, bahkan lembaga pemerintahan sering kali menjadi headline di berbagai media. Misalnya, pada tahun 2021, terjadi kebocoran data pengguna aplikasi e-commerce terkenal di Indonesia yang melibatkan lebih dari 91 juta akun pengguna . Data yang bocor meliputi nama, email, nomor telepon, hingga alamat rumah. Ini hanyalah salah satu dari banyak kasus yang menunjukkan betapa rentannya data pribadi kita di dunia digital saat ini.
Tidak hanya sektor swasta, sektor publik pun tak luput dari ancaman kebocoran data. Pada tahun yang sama, data 279 juta penduduk Indonesia, termasuk data pribadi pegawai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, juga dilaporkan bocor dan diperjualbelikan di pasar gelap . Fakta ini menunjukkan bahwa bahkan lembaga negara yang seharusnya memiliki standar keamanan tinggi pun belum mampu melindungi data warga negaranya. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: apakah negara benar-benar mampu menjamin keamanan data kita?
Regulasi yang Belum Efektif
Untuk menjawab kekhawatiran tersebut, negara sebenarnya telah memiliki regulasi terkait perlindungan data pribadi, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru disahkan. Regulasi ini diharapkan dapat menjadi payung hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak privasi warga negara. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektif regulasi ini diterapkan?
Sayangnya, implementasi UU PDP di lapangan masih jauh dari kata optimal. Meski sudah memiliki peraturan yang jelas, penegakan hukum dan pengawasan terhadap pelanggaran data masih lemah. Banyak perusahaan yang belum memiliki sistem perlindungan data yang memadai, dan hal ini sering kali terabaikan oleh otoritas terkait hingga terjadi insiden kebocoran. Negara tampak lebih reaktif dalam menghadapi masalah ini, bertindak hanya setelah kebocoran terjadi, daripada melakukan tindakan preventif yang lebih proaktif.
Selain itu, UU PDP juga masih memiliki beberapa kelemahan, terutama dalam hal mekanisme pengawasan dan sanksi yang diterapkan kepada pelanggar. Hal ini membuat banyak pihak, termasuk perusahaan teknologi, merasa tidak terlalu terancam oleh sanksi hukum meskipun terjadi pelanggaran data. Regulasi yang tidak tegas dan lemah dalam penerapannya hanya akan memperburuk situasi ini, yang pada akhirnya membuat kita semakin meragukan komitmen negara dalam melindungi data pribadi.
Lemahnya Infrastruktur Keamanan Siber
Selain regulasi yang belum memadai, salah satu masalah mendasar lainnya adalah lemahnya infrastruktur keamanan siber di Indonesia. Infrastruktur ini mencakup kemampuan teknologi, sistem keamanan yang digunakan oleh perusahaan dan lembaga pemerintah, serta kesiapan sumber daya manusia yang ahli dalam bidang keamanan siber.