Selain masalah keterampilan, faktor lain yang turut berkontribusi terhadap tingginya angka pengangguran di kalangan Gen Z adalah perubahan pola kerja dan ekspektasi mereka terhadap pekerjaan. Generasi ini memiliki pandangan yang berbeda terhadap dunia kerja dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka cenderung mencari pekerjaan yang tidak hanya memberikan penghasilan tetap, tetapi juga memberikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (work-life balance), fleksibilitas waktu, dan kesempatan untuk bekerja jarak jauh.
Namun, di Indonesia, banyak perusahaan yang masih menerapkan sistem kerja konvensional dengan jam kerja tetap dan lokasi fisik yang harus didatangi setiap hari. Hal ini sering kali bertentangan dengan ekspektasi Gen Z, yang lebih memilih pekerjaan dengan fleksibilitas tinggi dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Akibatnya, banyak dari mereka yang merasa tidak cocok dengan sistem kerja yang ada, sehingga memilih untuk menunda masuk ke dunia kerja atau bahkan keluar dari pekerjaan yang mereka anggap tidak memenuhi ekspektasi.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Deloitte pada tahun 2023, ditemukan bahwa sebanyak 70% dari Gen Z lebih memilih bekerja di lingkungan yang memberikan fleksibilitas dan kesempatan untuk bekerja dari rumah. Namun, hanya 30% dari perusahaan di Indonesia yang sudah menerapkan sistem kerja fleksibel ini. Perbedaan pandangan antara perusahaan dan generasi muda ini semakin memperlebar jurang pengangguran.
Pengaruh Teknologi: Peluang dan Tantangan
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi memberikan banyak peluang baru, terutama bagi Gen Z yang sangat akrab dengan teknologi digital. Namun, teknologi juga menghadirkan tantangan tersendiri. Di satu sisi, otomatisasi dan digitalisasi menciptakan lapangan pekerjaan baru, tetapi di sisi lain, teknologi juga mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia di beberapa sektor.
Banyak pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia kini telah digantikan oleh mesin atau perangkat lunak otomatis. Misalnya, sektor manufaktur, layanan pelanggan, dan administrasi kini semakin mengandalkan teknologi otomatisasi. Ini menyebabkan pengurangan tenaga kerja di sektor-sektor tersebut, dan sayangnya, banyak dari mereka yang terdampak adalah generasi muda yang baru saja memasuki pasar kerja.
Dalam laporan McKinsey Global Institute, diperkirakan bahwa pada tahun 2030, sekitar 23 juta pekerjaan di Indonesia berisiko tergantikan oleh otomatisasi. Oleh karena itu, Gen Z perlu lebih proaktif dalam mempelajari keterampilan baru yang relevan dengan era digital ini, seperti keterampilan data analytics, coding, hingga kecerdasan buatan (AI). Jika tidak, mereka akan semakin tertinggal dan kesulitan bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif.
Solusi yang Perlu Diambil
Untuk mengatasi tingginya angka pengangguran di kalangan Gen Z, diperlukan upaya sinergi dari berbagai pihak. Pertama, pemerintah harus berperan aktif dalam menyediakan program pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Program seperti reskilling dan upskilling sangat diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada generasi muda meningkatkan keterampilan mereka.
Kedua, dunia pendidikan harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kurikulum perlu diperbarui agar lebih responsif terhadap perubahan industri, serta memberikan kesempatan magang atau pelatihan praktik yang memadai bagi para siswa. Kolaborasi antara institusi pendidikan dan perusahaan juga sangat penting untuk memastikan lulusan baru memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri.
Terakhir, perusahaan juga harus lebih fleksibel dalam menanggapi perubahan pola kerja yang diinginkan oleh Gen Z. Memberikan fleksibilitas dalam jam kerja, kesempatan bekerja jarak jauh, serta lingkungan kerja yang mendukung pengembangan diri dapat membantu menarik dan mempertahankan talenta muda.