Fenomena sulitnya mencari pekerjaan bagi sarjana di Indonesia telah menjadi sebuah permasalahan yang semakin akut. Dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa melihat semakin banyak lulusan perguruan tinggi yang memilih profesi sebagai ojek online (ojol). Meskipun banyak yang menganggap profesi ini jauh dari ekspektasi seorang sarjana, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka semakin sulit ditemukan. Alhasil, mereka terpaksa banting setir demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Jika kita cermati, masalah ini tidak hanya berdampak pada para sarjana itu sendiri, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan di Indonesia. Mengapa para lulusan sarjana, yang seharusnya mampu berkontribusi pada sektor-sektor strategis, justru beralih ke pekerjaan yang cenderung dianggap lebih rendah dalam hierarki sosial? Apakah hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang tidak relevan, atau ada faktor lain yang membuat lulusan sarjana kesulitan mencari pekerjaan?
Kesenjangan antara Pendidikan dan Lapangan Pekerjaan
Salah satu alasan utama mengapa banyak sarjana terpaksa beralih menjadi driver ojol adalah karena adanya kesenjangan yang besar antara pendidikan tinggi dan lapangan pekerjaan yang tersedia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia untuk lulusan perguruan tinggi mencapai 6,97% pada tahun 2023. Ini merupakan angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pengangguran pada jenjang pendidikan lainnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan antara jumlah lulusan sarjana yang terus meningkat setiap tahunnya dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Banyak perusahaan menuntut pengalaman kerja yang tinggi bagi para pelamar, sesuatu yang sering kali sulit dipenuhi oleh fresh graduate yang baru saja lulus. Akibatnya, para lulusan baru terjebak dalam dilema: mereka tidak memiliki pengalaman untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi untuk mendapatkan pengalaman mereka harus bekerja terlebih dahulu.
Di sisi lain, kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia juga sering kali tidak selaras dengan kebutuhan industri. Banyak lulusan yang merasa bahwa ilmu yang mereka pelajari di kampus tidak relevan dengan tuntutan pasar kerja saat ini. Kondisi ini memaksa mereka untuk mencari pekerjaan di luar bidang studi mereka, yang sering kali berakhir dengan pilihan menjadi driver ojol karena profesi ini tidak memerlukan keahlian khusus dan bisa segera menghasilkan uang.
Menjadi Driver Ojol, Solusi Sementara atau Pilihan Terpaksa?
Menjadi driver ojek online memang menawarkan solusi yang cepat dan mudah bagi mereka yang kesulitan mendapatkan pekerjaan formal. Dengan sistem yang relatif fleksibel, para sarjana yang memilih jalur ini bisa langsung bekerja tanpa harus melalui proses seleksi yang panjang dan berbelit. Selain itu, pekerjaan ini juga memberikan kebebasan dalam mengatur waktu kerja, yang sering kali dianggap lebih nyaman dibandingkan pekerjaan formal dengan jam kerja yang kaku.
Namun, meskipun terlihat menguntungkan, profesi ini juga memiliki banyak tantangan yang tidak bisa diabaikan. Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh para driver ojol adalah persaingan yang semakin ketat. Dengan semakin banyaknya orang yang memilih profesi ini, pendapatan per hari para driver cenderung menurun. Belum lagi biaya operasional yang tinggi, seperti harga bahan bakar, perawatan kendaraan, dan potongan komisi dari platform yang sering kali berubah-ubah tanpa pemberitahuan yang jelas.
Sebagai contoh, beberapa driver ojol yang sebelumnya meraih pendapatan harian yang cukup menjanjikan, kini harus bersaing dengan ribuan driver lainnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Dalam satu hari, mereka mungkin harus bekerja lebih dari 12 jam untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Kondisi ini tentu membuat profesi ojol menjadi pilihan yang semakin tidak stabil dan berisiko untuk jangka panjang, terutama bagi mereka yang memiliki tanggungan keluarga.