Tindakan orang tua dalam membesarkan anak adalah cerminan dari nilai-nilai dan harapan yang mereka miliki. Namun, tidak semua tindakan yang dimaksudkan untuk kebaikan membawa hasil yang positif. Salah satu kesalahan umum yang kerap dilakukan adalah membandingkan anak dengan orang lain. Apakah itu saudara kandung, teman sekelas, atau anak tetangga, membandingkan anak sering kali dianggap sebagai cara untuk memotivasi mereka. Namun, tahukah kamu bahwa kebiasaan ini justru bisa membentuk pribadi anak yang suka berontak dan tidak percaya diri?
Efek Psikologis Membandingkan Anak
Pada dasarnya, setiap anak unik dan memiliki karakter serta kelebihan yang berbeda. Namun, ketika anak sering dibandingkan, terutama dengan orang yang dianggap "lebih baik", ia mulai meragukan kemampuan dirinya. Perasaan ini memicu rendah diri dan kekecewaan yang mendalam. Bukannya merasa termotivasi, anak malah mulai merasa seolah-olah apa pun yang dilakukannya tidak akan pernah cukup baik. Misalnya, ketika seorang anak selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih pintar, ia akan merasa bahwa segala usahanya sia-sia.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa perbandingan sosial yang terus-menerus bisa menyebabkan anak mengalami stres dan kecemasan. Anak-anak yang merasa di bawah tekanan karena selalu dibandingkan sering kali mengalami masalah dengan harga diri mereka. Kondisi ini memunculkan pola pikir bahwa mereka tidak layak dihargai kecuali bisa "sebagus" atau "lebih baik" dari orang lain. Sebagai akibatnya, mereka mengembangkan sikap defensif, yang sering kali diwujudkan dalam bentuk perlawanan terhadap otoritas orang tua atau aturan yang ada di rumah.
Membangun Rasa Tidak Percaya Diri
Membandingkan anak secara konstan juga menciptakan rasa tidak percaya diri yang mendalam. Anak-anak yang terus-menerus dikritik dan dibandingkan mungkin mulai mempertanyakan nilai diri mereka sendiri. Setiap kegagalan kecil bisa mereka anggap sebagai bukti bahwa mereka memang tidak cukup baik. Ini bisa memicu siklus perasaan negatif yang merusak mental mereka.
Sebagai contoh, bayangkan seorang anak yang dibandingkan dengan teman sekelasnya dalam hal nilai akademik. Setiap kali ia menerima nilai yang lebih rendah, meski sudah berusaha keras, ia akan merasa tidak berharga. Pada titik ini, anak tidak lagi berusaha karena ia merasa tidak ada gunanya. Ketika situasi ini berulang, ia akan semakin menarik diri dan mungkin menunjukkan perilaku berontak sebagai cara untuk mengungkapkan kekecewaannya.
Mengapa Anak Jadi Suka Berontak?
Sikap berontak yang muncul pada anak yang sering dibandingkan bukanlah tanpa alasan. Ini adalah cara anak untuk melindungi dirinya dari rasa sakit dan tekanan emosional yang dirasakannya. Mereka tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan perasaan terluka atau frustasi dengan baik, sehingga perlawanan menjadi cara yang paling mudah diakses.
Anak yang merasa tidak dihargai akan merasa perlu "membuktikan" dirinya, baik dengan cara positif maupun negatif. Perilaku berontak, seperti menentang aturan atau bersikap keras kepala, sering kali adalah bentuk pemberontakan terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan. Hal ini bukan sekadar reaksi emosional sesaat, tetapi bisa menjadi respons yang terus berlanjut jika tidak ada perubahan dari pihak orang tua.