Kemudahan berbelanja di era digital semakin menjadi-jadi dengan hadirnya berbagai metode pembayaran instan, salah satunya adalah PayLater. Fitur ini memungkinkan kita untuk membeli barang atau jasa terlebih dahulu, kemudian membayarnya nanti, sering kali tanpa bunga dalam jangka waktu tertentu. Tidak mengherankan, generasi muda, khususnya Gen Z, begitu cepat mengadopsi metode pembayaran ini. Namun, di balik kenyamanan yang ditawarkan, ada sisi gelap yang mengintai: banyak pengguna, terutama Gen Z, yang terlilit utang karena penggunaan PayLater yang tidak bijak.
PayLater: Kemudahan atau Jebakan?
Secara konsep, PayLater hadir untuk memudahkan transaksi, terutama bagi mereka yang belum memiliki akses ke kartu kredit atau metode pembayaran konvensional lainnya. Proses aktivasi yang cepat, persyaratan yang minim, serta akses instan untuk membeli barang membuat PayLater sangat menggoda. Kamu hanya perlu mendaftarkan diri, melalui verifikasi sederhana, dan kemudian bisa langsung berbelanja tanpa harus membayar di muka.
Namun, di balik kemudahan tersebut, banyak yang gagal memahami konsekuensi finansial dari layanan ini. Gen Z, yang lahir dan tumbuh di era serba digital, cenderung memiliki gaya hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh tren media sosial dan dorongan untuk selalu terlihat 'up-to-date'. Tanpa disadari, mereka sering kali mengabaikan risiko keuangan yang datang bersama penggunaan layanan ini. Menurut survei oleh Katadata Insight Center pada 2023, sebanyak 43% pengguna PayLater di Indonesia adalah generasi muda, dengan persentase besar di antaranya mengalami kesulitan melunasi tagihan tepat waktu.
Minimnya Literasi Keuangan di Kalangan Gen Z
Salah satu penyebab utama banyaknya Gen Z yang terlilit utang melalui PayLater adalah rendahnya literasi keuangan. Sebuah laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022 menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia masih berada di bawah 40%, dengan Gen Z sebagai salah satu kelompok yang paling minim pengetahuannya. Kebanyakan dari mereka tidak menyadari bahwa meskipun tanpa bunga di awal, biaya denda dan bunga keterlambatan yang dikenakan oleh penyedia layanan PayLater bisa sangat membebani jika tagihan tidak dilunasi tepat waktu.
Pengguna sering kali hanya melihat kemudahan di depan mata tanpa memperhitungkan kemampuan finansial jangka panjang. Sebagai contoh, banyak yang tergoda untuk membeli barang-barang dengan harga yang sebenarnya di luar jangkauan mereka, seperti gadget terbaru atau pakaian bermerek. Dengan adanya fitur PayLater, mereka merasa bisa mengatasi keinginan tersebut tanpa memikirkan beban pembayaran di kemudian hari. Ironisnya, ketika jatuh tempo tiba, mereka kerap kali kebingungan karena belum memiliki dana yang cukup untuk melunasi tagihan tersebut. Inilah yang kemudian memicu masalah utang yang terus menumpuk.
Bunga dan Denda: Beban Finansial yang Tak Disadari
Meski layanan PayLater sering kali dipromosikan sebagai solusi pembayaran yang mudah dan tanpa bunga, kenyataannya tidak selalu demikian. Jika pembayaran dilakukan tepat waktu, mungkin pengguna tidak akan dikenakan bunga. Namun, bagi mereka yang terlambat atau lupa membayar, denda dan bunga yang dikenakan bisa sangat memberatkan. Misalnya, salah satu platform PayLater populer di Indonesia mengenakan bunga hingga 2,95% per bulan untuk pembayaran yang melewati jatuh tempo. Jika tidak segera dilunasi, jumlah tagihan bisa berlipat ganda dalam hitungan bulan.
Tak hanya itu, beberapa platform juga mengenakan biaya administrasi yang tersembunyi, yang membuat total tagihan bisa jauh lebih besar dari yang diantisipasi. Bayangkan saja, dengan keterlambatan pembayaran satu bulan, kamu bisa saja harus membayar hingga dua kali lipat dari harga barang yang kamu beli. Dampak finansial seperti ini bisa sangat menyulitkan, terutama bagi mereka yang masih memiliki penghasilan terbatas atau bahkan belum memiliki sumber pendapatan tetap.