Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Sikap Jujur, Adil dan Rahasia, Apakah Sudah Hilang dari Pemilu Indonesia?

25 September 2024   10:15 Diperbarui: 25 September 2024   16:00 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kota Suara Pemilu. Pixabay.com/Thor_Deichmann 

Pemilihan umum (pemilu) merupakan pondasi penting dalam sistem demokrasi Indonesia. Proses ini bukan hanya sebatas memilih pemimpin dan wakil rakyat, tetapi juga menjadi cerminan dari integritas bangsa. Di dalam pemilu, ada tiga prinsip utama yang harus dijunjung tinggi: kejujuran, keadilan, dan kerahasiaan. Namun, seiring dengan berkembangnya politik praktis, muncul pertanyaan besar: apakah prinsip-prinsip ini masih dipertahankan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia?

Kejujuran, keadilan, dan kerahasiaan dalam pemilu adalah dasar yang tidak boleh diabaikan. Ketiga prinsip ini berfungsi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan memastikan bahwa suara mereka dihargai. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan hal yang sebaliknya. Banyak pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu, mulai dari manipulasi suara hingga politik uang yang membuat proses pemilu kehilangan makna. Untuk memahami situasi ini, mari kita bahas lebih dalam apakah prinsip-prinsip tersebut benar-benar sudah hilang dari pemilu Indonesia.

Kejujuran dalam Pemilu: Makin Pudar?

Kejujuran adalah landasan utama dalam setiap pemilihan umum. Pemilih harus percaya bahwa suara yang mereka berikan dihitung secara adil dan transparan. Namun, masalah kejujuran dalam pemilu di Indonesia terus menjadi perbincangan hangat. Kecurangan dalam pemilu, baik yang terstruktur, sistematis, maupun masif, masih sering ditemukan. Contohnya, pada Pemilu 2019 lalu, banyak laporan tentang manipulasi suara dan penggunaan politik uang. Menurut data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tercatat lebih dari 10.000 kasus dugaan pelanggaran pemilu di seluruh Indonesia pada pemilu tersebut. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk memperbaiki sistem, kejujuran dalam pemilu masih menjadi tantangan besar.

Salah satu bentuk kecurangan yang paling mencolok adalah politik uang. Praktik ini melibatkan pemberian uang atau barang kepada pemilih dengan harapan mereka memilih calon tertentu. Meskipun sudah ada larangan tegas terkait politik uang dalam undang-undang, nyatanya praktik ini masih marak terjadi di berbagai daerah. Ironisnya, dalam beberapa kasus, pemilih merasa terpaksa menerima uang tersebut karena tekanan ekonomi. Hal ini menimbulkan dilema moral, di mana kejujuran dan pilihan bebas terkompromikan.

Lebih jauh, kecurangan digital juga menjadi perhatian dalam era teknologi saat ini. Manipulasi data pemilih, penggunaan akun palsu di media sosial untuk menyebarkan informasi yang salah, hingga serangan siber terhadap sistem pemilu semakin meningkat. Semua ini mempengaruhi hasil pemilu dan menimbulkan keraguan terhadap keabsahan hasil akhirnya. Kejujuran yang seharusnya menjadi fondasi kuat dalam proses pemilu kini mulai pudar akibat berbagai bentuk kecurangan tersebut.

Keadilan: Hanya untuk Mereka yang Berkuasa?

Selain kejujuran, keadilan juga menjadi prinsip krusial dalam pemilu. Setiap warga negara, partai, dan calon pemimpin harus memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam bersaing. Namun, kenyataan di lapangan sering kali menunjukkan hal yang berbeda. Sistem politik yang ada di Indonesia cenderung lebih menguntungkan mereka yang memiliki kekuatan finansial atau jaringan politik yang kuat.

Kampanye pemilu, misalnya, sering kali didominasi oleh calon dengan sumber daya yang besar. Mereka memiliki akses lebih luas ke media massa, tim kampanye yang profesional, hingga dana yang melimpah untuk memasang iklan di berbagai platform. Sementara itu, calon yang berasal dari golongan menengah ke bawah sering kali kesulitan untuk bersaing secara adil. Ketimpangan ini menciptakan kesan bahwa pemilu lebih menguntungkan golongan elit, dan keadilan bagi semua pihak hanya sebatas wacana.

Ketidakadilan juga terlihat dalam pendistribusian informasi. Media massa, yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, sering kali lebih condong pada calon atau partai yang mampu membayar biaya iklan yang tinggi. Berbagai media memberikan panggung lebih besar kepada mereka yang berduit, sementara calon lainnya terpinggirkan. Kondisi ini mempengaruhi persepsi publik dan secara tidak langsung mengarahkan pilihan mereka. Akibatnya, keadilan dalam pemilu pun tercoreng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun