Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sistem Zonasi adalah Bentuk Diskriminasi?

21 September 2024   19:20 Diperbarui: 21 September 2024   19:21 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ana Belajar. Pixabay.com/sasint 

Sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru di sekolah negeri telah menjadi topik yang memicu diskusi panas dalam beberapa tahun terakhir. Diterapkan dengan tujuan untuk menciptakan pemerataan pendidikan dan mengurangi kesenjangan sosial, sistem ini mengutamakan penerimaan siswa berdasarkan jarak tempat tinggal dengan sekolah. Dalam teori, sistem ini terlihat sederhana dan ideal, yakni memberikan akses lebih besar kepada siswa yang tinggal di sekitar sekolah untuk mendapatkan pendidikan di sekolah tersebut. Namun, seiring dengan pelaksanaannya, banyak muncul kritik yang menyatakan bahwa sistem zonasi ini justru menciptakan bentuk diskriminasi baru dalam pendidikan.

Ketika mendengar kata "diskriminasi," kamu mungkin langsung berpikir tentang ketidakadilan atau perlakuan yang tidak setara. Lalu, bagaimana bisa sebuah sistem yang diklaim bertujuan untuk menciptakan pemerataan justru dikatakan diskriminatif? Bukankah sistem zonasi diterapkan agar semua siswa mendapatkan akses yang sama terhadap pendidikan, tanpa memandang status sosial atau kemampuan finansial orang tua mereka? Inilah yang menjadi inti dari perdebatan yang kompleks di kalangan masyarakat, terutama para orang tua dan siswa.

Dampak Sistem Zonasi Terhadap Siswa Berprestasi

Salah satu kritik terbesar terhadap sistem zonasi adalah dampaknya terhadap siswa berprestasi. Dalam sistem yang berdasarkan prestasi, siswa dengan nilai tertinggi memiliki peluang lebih besar untuk diterima di sekolah favorit, tanpa memandang di mana mereka tinggal. Namun, sistem zonasi membatasi hal ini. Siswa yang tinggal di luar zona sekolah unggulan, meskipun memiliki nilai yang sangat baik, sering kali terpaksa bersekolah di sekolah yang kurang mendukung potensi mereka.

Kamu bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang siswa yang telah bekerja keras untuk meraih prestasi akademik, namun tidak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah yang sesuai dengan kemampuannya hanya karena tempat tinggalnya berada di luar zona. Rasa kecewa dan ketidakadilan ini sering kali dialami oleh siswa dan orang tua yang merasa bahwa prestasi akademik seharusnya menjadi faktor utama dalam penerimaan siswa, bukan jarak tempat tinggal. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah sistem zonasi benar-benar adil, atau justru mempersempit kesempatan bagi siswa berprestasi?

Selain itu, bagi siswa yang tinggal di luar zona sekolah favorit, sistem ini seakan menjadi tembok yang sulit ditembus. Mereka yang tinggal jauh dari sekolah-sekolah unggulan merasa terpinggirkan, seolah-olah tempat tinggal mereka menjadi penghalang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Situasi ini pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan menimbulkan stigma bahwa sistem zonasi lebih menguntungkan siswa di daerah perkotaan atau kawasan elit yang memiliki akses ke sekolah-sekolah favorit.

Ketimpangan Kualitas Pendidikan

Kritik lain yang sering muncul adalah ketimpangan kualitas pendidikan antar sekolah yang semakin terlihat jelas dengan adanya sistem zonasi. Sekolah-sekolah yang berada di daerah perkotaan atau kawasan elit biasanya memiliki fasilitas yang lebih baik, guru-guru yang lebih berkualitas, serta program-program pendidikan yang lebih unggul. Sebaliknya, sekolah-sekolah di daerah pinggiran atau terpencil sering kali kekurangan fasilitas dan sumber daya untuk memberikan pendidikan yang setara.

Dengan adanya sistem zonasi, siswa yang tinggal di zona sekolah-sekolah terpencil atau kurang berkembang terpaksa menerima pendidikan yang mungkin tidak setara dengan sekolah-sekolah di daerah perkotaan. Hal ini memperkuat ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas, yang seharusnya menjadi hak setiap anak di Indonesia. Sistem zonasi seakan-akan menjadi alat yang memperburuk ketidaksetaraan ini, karena siswa di daerah yang kurang berkembang terjebak dalam lingkaran pendidikan yang tidak mampu mendukung potensi mereka secara optimal.

Kamu mungkin mulai berpikir, apakah sistem zonasi ini benar-benar menciptakan kesetaraan, atau justru memperlebar jurang antara siswa dari keluarga mampu dan tidak mampu? Ketimpangan ini tidak hanya terlihat dari segi fasilitas sekolah, tetapi juga dari kualitas pengajaran dan kesempatan siswa untuk berkembang secara akademik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun