Indonesia adalah negeri yang dikenal dengan keanekaragaman budaya, suku, agama, dan bahasa. Dari Sabang hingga Merauke, setiap pulau dan daerah memiliki identitasnya sendiri.Â
Namun, di tengah kebhinekaan yang kita banggakan ini, muncul pembagian sosial yang sering kali kita dengar: mayoritas dan minoritas. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan mayoritas dan minoritas, dan apakah relevan untuk terus menggunakan istilah ini dalam konteks Indonesia? Bukankah seharusnya kita semua merasa satu, sebagai bangsa yang sama bangsa Indonesia?
Sebagai warga negara, kita tentu sering mendengar tentang mayoritas dan minoritas, terutama dalam konteks agama, suku, atau kelompok tertentu. Mayoritas kerap dianggap sebagai kelompok yang lebih besar dan memiliki pengaruh lebih dominan dalam kehidupan sosial, politik, maupun budaya. Sebaliknya, minoritas dianggap sebagai kelompok yang lebih kecil dan sering kali dianggap memiliki posisi yang lebih lemah.Â
Namun, apakah benar kita harus melihat diri kita melalui lensa ini? Atau, justru pembagian semacam ini hanya memperuncing perbedaan yang seharusnya tidak perlu ada?
Pada kenyataannya, istilah mayoritas dan minoritas bisa berbahaya jika terus dilestarikan. Mengapa? Karena istilah ini secara tidak langsung menimbulkan hierarki sosial. Ketika kita berbicara tentang mayoritas, ada kecenderungan bahwa kelompok tersebut akan merasa memiliki lebih banyak hak, kekuasaan, atau akses terhadap sumber daya. Sementara itu, kelompok minoritas kerap kali merasa termarjinalkan, terpinggirkan, dan tidak dianggap setara. Padahal, konstitusi kita dengan jelas menyatakan bahwa semua warga negara Indonesia memiliki hak yang sama, tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan apapun.
Lalu, mengapa masih ada pemikiran mayoritas dan minoritas? Salah satu alasannya adalah karena pola pikir yang sudah mengakar di masyarakat. Secara tidak sadar, kita terjebak dalam pola pikir eksklusif, di mana seseorang menilai dirinya lebih unggul hanya karena berasal dari kelompok yang lebih besar. Sebaliknya, mereka yang dianggap minoritas sering kali berjuang untuk diakui, meski kontribusi mereka terhadap bangsa ini sama besarnya.
Jika kita terus terjebak dalam pemikiran mayoritas dan minoritas, kita akan sulit mencapai persatuan yang sejati. Mengapa? Karena perpecahan akan selalu mengintai ketika ada kelompok yang merasa lebih berhak atau lebih istimewa daripada kelompok lain. Indonesia bukan dibangun oleh satu kelompok saja, tetapi oleh seluruh elemen masyarakat yang beragam.Â
Kita harus ingat bahwa semangat Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan yang diucapkan, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, kita harus benar-benar memahami bahwa di tengah perbedaan, ada satu kesatuan yang kuat: Indonesia.
Contoh nyata betapa keberagaman bisa menjadi kekuatan terlihat dari kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Setiap daerah memiliki kebudayaan, adat istiadat, dan tradisinya masing-masing, namun semua ini tidak menjadikan satu daerah lebih "Indonesia" daripada yang lain. Justru, dengan keberagaman ini, kita semakin kaya sebagai bangsa. Bayangkan, bagaimana rasanya jika seluruh Indonesia hanya memiliki satu budaya, satu bahasa daerah, atau satu tradisi saja? Tentu saja kita akan kehilangan warna yang selama ini menjadi ciri khas bangsa ini.
Lebih dari itu, pembagian mayoritas dan minoritas juga berpotensi menghambat pembangunan sosial dan ekonomi. Mengapa demikian? Karena ketika satu kelompok merasa lebih berkuasa, mereka cenderung ingin mempertahankan status quo yang menguntungkan mereka, sementara kelompok lainnya mungkin merasa tidak memiliki kesempatan yang sama.
 Ini bisa menciptakan ketidakadilan sosial yang pada akhirnya memicu konflik. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa mengancam stabilitas nasional. Padahal, jika semua elemen masyarakat diberikan kesempatan yang sama, potensi Indonesia sebagai bangsa yang besar bisa lebih optimal.