Awalnya ini adalah usulan “iseng-iseng berhadiah” dari anggota DPR di Komisi XI yang menangani sektor keuangan. Usulan ini mengemuka karena selama ini, para anggota DPR yang bekerja pada komisi keuangan, tidak pernah dapat menunjukkan “prestasi” kepada konstituen di daerah pemilihannya. Berbeda dengan komisi lain yang dapat memperjuangkan pembangunan fisik di daerah pemliihannya, anggota komisi keuangan serta badan anggaran hanya berkutat kebijakan keuangan, perencanaan pembangunan nasional, lembaga keuangan, dan perbankan.
Alasan yang lainnya adalah karena komisi XI merasa sudah berhasil mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak sebesar 11 trilyun. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar kalau kemudian setiap anggota DPR di komisi XI (sejumlah 53 orang) mendapatkan imbalan kegiatan sebagai hasil kerja kerasnya. Sangat aneh, seolah-olah DPR adalah institusi yang berhasil meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan yang merupakan tugas utama dari Direktorat Jenderal Pajak.
Setelah hampir satu bulan berlalu, wacana ini terus berkembang dan makin menggurita karena bukan hanya untuk anggota komisi XI, tapi dana aspirasi tersebut diusulkan untuk diterima oleh semua anggota DPR. Alhasil, dana yang tadinya hanya diminta sekitar 2 trilyun, membengkak menjadi 8.4 trilyun. Sikap pemerintah dalam hal inipun tidak terlalu tegas. Pada awal ide ini bergulir, Anggito Abimanyu, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Badan Kebijakan Fiskal, tidak secara tegas menerima atau menolak dan menyatakan akan berkoordinasi dulu dengan Badan Anggaran DPR. Menteri Keuangan sendiri, pada saat rapat dengar pendapat dengan DPR pada hari Senin 7 Juni kemarin meminta waktu untuk membahasnya di panitia kerja internal Kementrian Keuangan.
Usulan ini jelas-jelas tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Dalam UU tentang Keuangan Negara, DPR memang berhak untuk mengajukan usul perubahan penerimaan dan pengeluaran yang tertuang dalam RAPBN. Namun demikian, kekuasaan pengelolaan keuangan negara sepenuhnya berada di tangan eksekutif. Jelas bahwa fungsi DPR dalam hal keuangan negara adalah sebagai pengawas anggaran bukan sebagai pengelola anggaran.
Apabila dikabulkan, usulan ini sangat rawan akan penyalahgunaan anggaran. Akan dapat dibayangkan apabila anggota DPR yang selama ini tidak berpengalaman dalam mengelola anggaran, kemudian diberikan uang dalam jumlah yang sangat besar. Pengawasan pemakaian anggaran ini juga akan menjadi pekerjaan baru yang memerlukan energi tersendiri bagi pihak auditor negara. Surat kabar Kompas hari ini juga membahas tentang faktor ketidakadilan dan ketimpangan pembagian dana aspirasi ini. Sejumlah 306 anggota DPR berasal dari pulau Jawa dan akan menyerap 54.6 persen dana aspirasi tersebut ke pulau Jawa.
Di sisi lain, tingkat kepercayaan masyarakat sudah sangat rendah terhadap para anggota DPR. Kinerja para anggota dewan yang terhormat sangat jauh dari harapan masyarakat. Anggota DPR sudah banyak memberikan contoh menomorsatukan kepentingan politik serta golongan di atas kepentingan publik. Belum lagi banyaknya kasus “percaloan” proyek dan jabatan yang selama ini marak dan diungkapkan oleh KPK. Bahkan untuk uang yang tidak dikelola oleh anggota DPR saja bisa diselewengkan oleh mereka, apalagi yang dikelola sendiri.
Apakah kita rela memberi wewenang kepada anggota DPR untuk mengelola sendiri dana sejumlah 15 milyar rupiah?
Mari kita tolak beramai-ramai usulan dana aspirasi tersebut!
-Frans-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H