Oleh: Frans R. Zai
Anda pasti pernah menonton film TITANIC. Aku tak ingat lagi sudah berapa kali aku menonton film ini. Yang jelas aku tak pernah bosan menonton film romantis ini. Sejenak aku bertanya, mengapa film ini begitu menarik (sekurang-kurangnya menurutku)?
Adegan demi adegan seolah-olah kembali berlangsung dalam benakku, dan seluruh adegan membentuk sebuah tema PERCINTAAN yang di dalamnya terdapat tawa dan tangis, kemesraan dan benci, kesetiaan dan pengingkaran.
Menarik mengikuti perjalanan sang gadis cantik bernama Rose (diperankan oleh Kate Winslet). Ia dilahirkan dalam lingkungan kaum bangsawan. Kebangsawanan mewarnai seluruh kehidupannya, sekaligus juga mengungkung dan membatasi gerak-gerik serta kebebasannya. Pertemuannya dengan Jack, seorang pemuda dari kalangan kebanyakan (diperankan oleh Leonardo de Caprio), seolah mengubah kehidupannya. Cinta dan kebebasan yang sesungguhnya, sungguh ia rasakan. Bersama dengan Jack, Rose bisa menari, berlari dan tertawa tanpa harus dibatasi oleh aturan tata krama ala bangsawan. Sayangnya, kebersamaan mereka mesti berakhir seiring dengan tenggelamnya si raksasa “Titanic” yang merenggut banyak jiwa manusia, termasuk Jack. Rose meneruskan kehidupannya dalam kesendirian.
Adegan dalam film Titanic seolah berakhir dengan kegagalan cinta. Akan tetapi bagiku sendiri, film ini tidaklah mengungkapkan kegagalan. Meskipun Rose dan Jack tidak bisa hidup bersama karena kematian Jack dalam peristiwa tenggelamnya kapal raksasa itu, namun justeru ia telah memperoleh kehidupannya yang sesungguhnya: kebebasan sebagai seorang wanita, mencintai dan dicintai. Cinta yang ia kecap itu membuat dia bersemangat menjalani kehidupannya. Seluruh pribadi Jack seakan hidup dalam perjalanannya, kendatipun ia telah mati.
Kebebasan, cinta dan kebahagiaan adalah tiga tema kehidupan yang senantiasa mewarnai perjalanan hidup manusia hingga kini. Ketiganya terus didambakan dan dicari oleh manusia. Sayangnya, banyak orang di zaman ini tidak menyadari bahwa dirinya terbelenggu oleh kebahagiaan, cinta dan kebebasan yang semu. Orang berlomba mencari dan mengumpulkan harta, kedudukan dan uang dengan bekerja siang-malam, tetapi yang didapatkan ialah hati hampa.
Dalam usaha mencari jati diri, cinta sejati dan kebahagiaan, kaum muda (juga orang tua) memasuki dunia yang penuh hiburan dengan mengikuti perkembangan mode. Dengan alasan ekspresi diri dan mengikuti perkembangan zaman, orang mulai mencat (mewarnai) rambut dengan aneka warna/i, mengenakan pakaian ketat dan minim, nilai tubuh direduksikan pada level penghibur mata (menarik untuk dipandang).
Kala pola pandang dan berpikir seperti ini memengaruhi seluruh hidup, daya refleksi pun menjadi menipis. Barangkali hal inilah yang sedang terjadi di negeri kita yang diwarnai dengan berita-berita perselingkuhan para wakil rakyat, para artis yang begitu gampangnya gonta-ganti ‘pasangan’ (baca: cerai). Sayangnya, apa yang dicari tidak juga ditemukan; yang muncul justeru sebaliknya. Cibiran dan makian menjadi hidangan yang senantiasa tak bisa mereka hindari dari lingkungan sekitar mereka.
Perselingkuhan dan kehamilan di luar nikah muncul sebagai hasil dari pereduksian nilai tubuh, rasa jemu dan capek dihasilkan oleh pengagungan yang berlebihan terhadap pekerjaan dan kedudukan. Akibatnya, hidup terasa hampa: di luar tampak indah mempesona, tetapi di dalam kosong-melompong. Harta melimpah, uang segudang namun jiwa keropos.
Tampaknya, film Titanic mengingatkan manusia pada nilai-nilai luhur yang membawa manusia kepada pemaknaan hidup. Kesetiaan, mencintai dalam kesederhanaan, kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain merupakan serentetan nilai yang perlu diperjuangkan pada masa kini. Dengan itu, kehidupan terasa tidak lagi semu, melainkan sungguh nyata dan bermakna; walau tampak sederhana dan dina, namun tetap bersahaja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H