Seorang kawan dosen ditanya keluarganya ketika baru saja menamatkan pendidikan S3, “Apakah akan melanjutkan pendidikan ke S4?” Sang kawan tertegun mendengar pertanyaan itu. Baru kemudian menyadari bahwa yang dimaksud adalah jenjang jabatan akademik Profesor alias Guru Besar.
Sebagian masyarakat awam mengira ada pendidikan khusus untuk menjadi Profesor. Padahal profesor adalah jenjang fungsional dosen yang tertinggi. Jika diurutkan dari yang paling rendah dimulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, baru kemudian guru besar. Karena merupakan kepangkatan dalam dunia akademik, maka begitu sang dosen purna bakti alias pensiun, maka pangkat itu sudah tidak melekat lagi. Atau di Indonesia masih ada yang melekatkan dengan “embel-embel” Emeritus jika yang bersangkutan masih aktif mengajar di kampus. Guru besar Emeritus atau Profesor Emeritus.
Begitu bangga dan bergengsinya dengan jabatan profesor, sudah hampir dipastikan penulisan “Prof” disematkan di awal nama sang dosen, atau di kartu nama atau tanda pengenal identitas lainnya. Kemudian dipanggil “Prof” oleh kolega atau mahasiswa. Atau bahkan di kehidupan sehari-hari oleh saudara, teman dan tetangga.
Seorang kawan yang telah menjadi Profesor pernah mengemukakan “kerisihannya” ketika dipanggil “Prof” oleh seseorang yang tidak dikenal di luar kampus. “Jangan panggil saya ‘Prof’, nama saja. Ini bukan di kampus,” katanya mengingatkan sembari berbisik pelan. Si pemanggil mungkin tidak bermaksud apa-apa selain menunjukkan penghormatannya kepada sang profesor karena ada juga profesor yang tidak senang hati kalau tidak dipanggil “Prof”.
Sekarang pun ada kecenderungan penulisan Associate Professor atau disingkat Assoc Prof di depan nama seorang dosen. Atau Lektor Kepala dalam Bahasa Indonesia, namun ini jarang ditulis karena akan mengundang tanya orang yang membacanya. Assoc Prof yang disematkan menunjukkan sang empunya selangkah lagi menjadi Profesor penuh, namun belum layak dipanggil “Prof”.
Seorang kawan yang lain pun pernah bercerita betapa “repotnya” dia harus menjalankan ritual pengukuhan guru besar di tempatnya mengajar. Berhubung diharuskan pihak kampus karena merupakan kebanggaan dan juga sekaligus “upacara syukur” karena proses menjadi guru besar bukan proses yang singkat dan mudah, maka seremoni harus dijalani.
Spanduk besar dipasang di pelataran kampus sehingga masyarakat umum mengetahui ada guru besar yang dikukuhkan. Semakin banyak guru besar, reputasi kampus harusnya semakin meningkat, karena berkaitan dengan proses pembelajaran yang semestinya juga makin berkualitas. Harapannya akan makin banyak karya ilmiah dari para akademisi yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Seperti biasa, seremoni pengukuhan dijadikan ajang untuk menyemangati kolega dosen yang lain agar segera mengurus kepangkatan guru besar. Bagi yang belum menjadi Doktor, segera studi lanjut S3 supaya bisa menjadi profesor, karena kini di Indonesia cuma Doktor yang bisa menjadi Profesor. Biar makin banyak juga panggilan, “Prof, Prof …” terdengar di lingkungan kampus. “Seru juga ya,“ kata seorang rektor sambil tersenyum simpul.
Profesor dengan segala prestise yang menyertai tampaknya telah memberikan motivasi kuat di kalangan dosen yang memang ingin menggapai jenjang kepangkatan tertinggi itu. Sebuah pencapaian luar biasa untuk karier seorang dosen. Tidak ada yang salah. Namun menjadi masalah jika berkembang di tengah kebiasaan masyarakat yang hanya melihat jenjang Profesor sebagai sebuah sebutan kehormatan dan bahkan ke arah “pengkultusan” personal seseorang. Atau bahkan semata-mata hanya menjadi sarana untuk memperoleh tunjangan yang besar atau sumber-sumber pendapatan lainnya.
Maka ketika sekarang banyak diulas mengenai kiprah profesor, yang mungkin tidak sejalan dengan nafas jiwa pendidik dan cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai jenjang kepangkatan itu, semua jadi terasa absurd. Banyak yang mesti dibenahi di tengah budaya yang telah terbentuk di masyarakat. Siapa yang berani memulai dan menjadi pelopor, tidak semudah membalik telapak tangan.
Kembali ke kawan yang baru lulus S3 tadi, dia memang terbilang cerdas. Maka tidak perlu menunggu lama buat dia untuk menjadi profesor. Di hari pengukuhannya, dia meminta saya untuk memberikan testimoni. Dengan senang hati permintaannya itu dituruti karena sebuah kehormatan.