Siang itu tanggal 29 april 2010 aku hendak mengantar sepupu pulang ke sukabumi sekaligus berkunjung kerumah keluarga yang lain disana. Ada dua pilihan jalan alternative, melalui puncak atau melalui jalan Bogor-Sukabumi. Saya memilih jalan melalui puncak, selain lebih minim resiko kecelakaan sekalian juga penyegaran dari hiruk pikuk mobilitas Jakarta yang membuat penat, dengan menghirup udara dihamparan pegunungan dengan kebun teh yang mengelilinginya.
Saat itu perjalanan sangat lancar, karena hampir tak ditemui kepadatan disetiap titik-titik yang biasanya menjadi area rawan kemacetan. Cuaca pun sangat mendukung karena tidak terlalu panas, tapi memang agak sedikit mendung. Tikungan demi tikungan kami lewati, dengan alur jalan yang berkelok naik turun yang merupakan hasil kerja paksa pada masa penjajahan Romusha dulu.
Setelah melewati puncak pass, disitu lajur terbagi menjadi dua dengan pos polisi yang berada dititik tengahnya. Kami pun melaju dengan bebasnya melewati pos polisi tersebut. Tiba-tiba rupanya ada polisi yang mengejar kami, lalu menyuruh kami berhenti. Pak polisi meminta saya untuk mengeluarkan SIM dan STNK. Dengan tenang saya mengeluarkan dompet dari kantong celana dan menyerahkannya pada pak polisi yang wajahnya tidak terlalu garang, karena dilihat dari nama dan warna kulitnya saya berasumsi kalau dia adalah orang Jawa. Setelah ia memeriksa SIM dan STNK, saya diajak untuk mengikutinya ke pos polisi yang telah kami lewati tadi, saya sih nurut saja karena saya pikir saya tidak salah. Dalam pikiran saya, mungkin ia ingin menawarkan kami kopi, karena pada saat itu udara puncak lumayan dingin. Tapi anehnya SIM dan STNK saya, ia masukkan ke dalam sepatunya yang tinggi itu yang hampir mirip sepatu boat yang biasa dipakai oleh Polantas, mungkin agar mereka terlihat lebih tinggi, gagah dan berwibawa sehingga dapat dengan mudahnya menginjak-nginjak rakyat jelata.
Sesampainya di pos polisi, kami disuruh masuk. Tapi sebelumnya saya menyuruh sepupu saya untuk menelpon papa nya yang memang cukup berpengaruh di wilayah Cianjur dan sekitarnya. Ketika masuk diruangan yang tidak teralu luas itu, saya disodorkan lembaran yang ternyata adalah pasal-pasal pelanggaran. Sontak saya kaget, karena pasal-pasal yang merupakan buah pemikiran anak-anak bangsa hanya terbungkus dengan plastik laminating, yang tak ada bedanya dengan daftar menu makanan yang dapat kita dapati di kafe atau warung pecel. Jadi, setiap pelanggar hanya disajikan beberapa menu pasal yang telah disertai dengan daftar harga pelanggaran yang tertera. Mungkin bedanya, bila di kafe dan warung pecel tidak bisa ditawar-tawar lagi, sedangkan daftar harga pasal-pasal pelanggaran masih bisa ditawar.
Saya kembali dikagetkan lagi, karena saya dikenai dua pasal pelanggaran. Yang pertama, tidak menggunakan helm SNI, karena sepupu yang saya bonceng hanya menggunakan helm putih cetok yang biasa anak-anak Jogja pakai. Kedua, saya dikenai pasal tidak menggunakan atribut motor standar, karena plat nomot saya bukan plat nomor asli yang dikeluarkan oleh kepolisian. Daftar harga pelanggaran yang pertama adalah Rp. 250.000 dan yang kedua Rp. 750.000. tentu ini sangat tidak rasional bukan?
Pada saat itu pak polisi hanya memberitahu bahwa saya harus mengikuti siding pada tanggal 7 mei 2010, tentu saya meminta jadwal siding yang lebih cepat. Tapi anehnya pak polisi tak kunjung menuliskan pelanggaran saya pada buku tilang. Mungkin kita semua sudah paham maksudnya apa. Kemudian pak polisi mencoba mewawancarai kami;
Polisi; “memangnya kalian mau kemana”???
sepupu saya menjawab: “kita mau ke ASTEN (Asrama TNI)pak.., mau balikin motor, soalnya motornya mau dipakai papa dinas …
polisi: memangnya dinas dimana???
Sepupu: di Koramil (Komando Rayon Militer)Cianjur pak
Polisi: siapa nama papa nya…??? Coba saya ingin lihat KTP kamu…!!!
Sepupu: pa Dadang pak…
Polisi tersebut, terlihat diam sambil memeriksa KTP sepupu saya. Kemudian tiba-tiba ia mengembalikan KTP, SIM dan STNK kepada saya. Berhubung saya orang psikologi, tak afdol rasanya bila tidak memainkan emosi pak polisi ini, saya pun sedikit tersenyum dengan sedikit sinis. Benar saja dugaan saya, tiba-tiba saja pak polisi mengambil kembali KTP, SIMdan STNK, kemudian membentak saya dengan nada yang cukup tinggi.
Polisi; kenapa kamu senyum sinis seperti itu, saya sudah baik sama kamu tapi kamu seperti tidak menghargai saya..!!! saya tidak menilang kalian karena saya menghormati papanya dia (sepupu saya). Sebenarnya bisa saja saya menilang kamu, toh saya punya bukti. Saya gak takut, bapak saya juga pangkatnya lebih tinggi.
Pada saat itu saya diam dengan sedikit berkilah, tapi terus bergumam dalam hati…(”yaudah sii, kalo emang mau tilang..ya tilang aja.., katanya gak takut.., koq gak jadi nilang…”). Akan tetapi, karena saya seorang yang berjiwa besar, saya langsung meminta maaf, bila senyuman saya menyakiti hati pak polisi. Akhirnya kami pun dibolehkan melanjutkan perjalanan.
Ini sebuah cerita nyata yang mungkin dialami banyak orang dinegeri tercinta ini. Hal seperti ini yang membuat citra polisi semakin terpuruk saat ini. Reformasi besar-besaran memang harus dilakukan. Tak hanya masalah birokrasi, tapi juga masalah pasal-pasal yang tidak rasional yang hanya membuat rakyat mual. Bayangkan saja denda bila tidak memakai helm SNI Rp. 250.000, lalu kapan kita bisa beli helm SNI kalau harus membayar denda. Agar lebih rasional, sekalian saja polisi menyediakan helm SNI, bila tidak ada yang melanggar hukumannya harus membeli helm SNI pada polisi. Itu lebih rasional bukan..???
Masalah penataan institusi memang benar-benar harus dimaksimalkan. Ini hanya sebagian contoh kecil dari beberapa kasus fenomenal yang terjadi dinegeri ini. Semoga dapat menjadi perenungan bagi siapa saja yang ataupun pihak yang terkait. Karena disini tak ada maksud mendiskreditkan satu pihak pun. Marilah kita benahi bersama negeri ini….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H