"Perbuatan-perbuatan kecil dan tidak dikenang yang dilakukan atas nama kebaikan dan cinta adalah bagian terbaik dari kehidupan seorang manusia."
Mungkin sulit untuk tidak teringat tentang frasa di atas. Empati, simpati, kecerdasan hati, kepedulian yang cerdas terhadap orang lain, lambat untuk menilai, toleransi, kesopanan, kejujuran, imajinasi moral, keberanian moral itulah sifat-sifat yang oleh para penulis dan penyair besar, terutama novelis besar yang mendalami filsafat esoteris yang telah dijadikan pusat perhatian dan dibantu untuk berkembang di ranahnya. Perhatian pun tidak hanya terhadap gerak kehidupan batin kita sendiri yang kecil dan mungkin nyaris tidak terasa, tetapi juga terhadap kehidupan batin orang lain.
Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi modern bersifat maya yaitu internet ternyata menjadi suatu ancaman terhadap kehidupan batin atau mentalitas kita. Padahal, kehadiran internet di masa kini yang semakin mengarah ke zaman digital ini hakikatnya untuk memudahkan sebagai sistem jaringan informasi dan komunikasi terutama berkaitan dengan jarak. Adanya media sosial sebagai layanan komunitas dalam jejaring dunia maya pun kini menjadikan ranah media massa itu tidak hanya sebagai ranah kepenulisan para jurnalis, cendekiawan, ataupun sastrawan, kini siapa saja bisa menjadi penulis dan pewarta untuk saling berbagi ungkapan. Hal inilah yang menjadi celah para pelaku unsur huru-hara untuk berspekulasi sekalipun tentang kelancangan ramuan senyawa-senyawa yang meledakkan isu hoax biasa sampai yang berbau SARA.
Bagaimanapun spekulasi atau terencana matang yang biasanya disepelekan sebagai suatu yang remeh temeh atau mungkin gila, mulai membesar menjadi perdebatan politik yang menjadi arus utama di Indonesia sampai saat ini. sekalipun dalih senda-gurau, banyak dorongan tidak syak lagi telah ditambahkan dari dorongan para pelaku unsur huru-hara seperti untuk memberantas agama pribumi menunjukkan masa kini sebagai tanda berakhir sebuah siklus sejarah panjang (baca juga: Agama, antara Keselamatan dan Kelumatan). Saling tuduh terhadap objek sasaran yang dibuat oleh para pelaku unsur huru-hara yang menurut saya tidak punya alasan untuk meragukan suatu ketulusan dari obyek sasaran merupakan sebuah peringatan. Ada bahaya bagi kita yang tertarik dengan tuduhan macam-macam itu dan berusaha memandang mereka dengan kacamata keimanan, selagi kita mempersiapkan diri untuk berperang melawan kebatilan dan merasa cemas bahwa kita harus siap untuk melawan api dengan api. Bahayanya adalah bahwa kita secara Cuma-Cuma menyerah sifat-sifat  yang "ia" telah datang untuk merebut dari kita.
Lalu siapakah "ia" yang dimaksud, untuk perihal ini ada sebuah kepercayaan kuno bahwa seperti halnya sekitar 2000 tahun yang lalu Yesus Kristus berinkarnasi, demikian pula pada masa kita Setan akan berinkarnasi. Inkarnasi ini akan menimbulkan pergolakan skala global. Sangat mudah untuk terjerat ke dalam pesona arketipe kejahatan dan melupakan bahwa itu hanyalah bayangan dari perkembangan yang jauh lebih besar dan lebih penting dari zaman kita. Maka, bagaimana dengan Indonesia?
Frankincense (Purwokerto, 14 Juli 2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H