Pemilu akbar akan kembali berkumandang di tahun 2018-2019, di mana rakyat kembali merayakan pesta demokrasi penentuan pada figur-figur yang diharapkan. Dilema dan problema yang tidak kunjung sirna masih menghiasi wajah pemilu pada makna dan hakikat yang sebenarnya. Politik yang menjadi penyambung lidah demokrasi serta partai politik sebagai kendaraan penghubung demokrasi pun semakin tersimpang dari amanah kepentingan yang sehakikatnya. Pesta demokrasi seakan dijadikan ajang bisnis untuk menjajakan kendaraan politik mereka dengan brand ambassador yang ciamik melalui jargon-jargon yang selama ini menjadi ikon atau figur yang kita sebut saja; "Patron politik".
Patron adalah orang yang dipandang dan juga memandang dirinya sendiri sebagai pelindung, seorang penuntun, seorang model untuk ditiru dan seorang perantara yang menghubungkan seseorang atau sesuatu yang lain dengan yang lebih berkuasa, apakah kekuasaan itu imajiner atau nyata dan apakah keuntungan yang akan diperoleh dari patronnya itu bersifat material atau samar. Individu-individu akan mencari patron seperti itu dalam rangka memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu dan proteksi. Di atas semuanya itu patron bertindak sebagai perantara yang dapat menghubungkan jabatan dan profesi.
Kata "patron" berasal dari bahasa latin "patronus", yang berarti orang yang memberi manfaat kepada kliennya.
Pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya.
Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan Bapak-anak buah, di mana bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar. Setelah itu, bapak harus siap menyebarluaskan tanggung jawabnya dan menjalin hubungan dengan anak buahnya tersebut secara personal. Pada tahap selanjutnya, klien membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan kepada patron.
Coba dimaknai, tanpa kita sadari atau tidak terhadap dampak yang ada dari pesta demokrasi sebelumnya ini pada yang namanya perubahan...yaitu gagal fokus. Bagaimana tidak, dari awal proses pasti banyak masyarakat yang masih mengakar pada budaya "money politic" (politik uang). Nah, inilah salah satu sumbernya yang menimbulkan dampak yang besar pada yang namanya "gagal fokus". Jabatan yang diamanah pun menjadi bernanah, karena politik uang...demokrasi pun musnah. Yah, bagaimana jadinya negara ini untuk berbenah. Sementara, mencoba menghapus budaya politik uang yang menjadi sistem mengasyikan itu pun tak pernah. Maka, yang ada perpolitikan kita semakin berkolusi dan tidak terarah.
Coba kita telusuri, selama ini apa sih yang menjadi dasar kita memilih para patron politik dengan segala resah dan amanah menuju gerbang birokrasi yang penuh hikmah? Dari yang saya amati untuk sisi komersil, orang akan tertarik untuk mendukung para patron politik ini jika ada imbalannya. Mereka mungkin tidak terlalu memperhatikan kesungguhan atau visi-misi yang jelas dari para patron ini berkancah politik. Yang penting jika ada suguhan dan sesuai pepatah "yang berduit, yang disuit"maka, mereka pun akan bangkit untuk mendukung peluh.
Jangkrik boss... Tak khayal pula para patron dengan benang merah seperti ini akan mengusahakan segala cara meraih suara, dengan dana basah untuk kepuasan semu bersama. Kendaraan politik mereka akan menjadi tunggangan indah bersosialisasi janji basi. Jalur sutra yang terkotak dan terkontaminasi di  sini pada akhirnya adalah "jalur duit"untuk mengembalikan dana mereka yang sembelit, bukan lagi "jalur suit" untuk memegang dan melaksanakan jabatan yang menjadi mandatnya beraspirasi dan berpartisipasi pada pembangunan negeri. Nah lho... apa ini kebanyakan dalih menjadi KKN (Korupsi Korupsi Nepotisme) sebagai ladang basah mengkonspirasi jabatan? Maka yang sebenarnya mendidik budaya ini partai politiknya, para patronnya, atau masyarakatnya?
Menurut pendapat seorang antoprolog forensik dalam sebuah acara talkshow mengenai pendapatnya tentang partai politik dan korupsi adalah "bahwa korupsi di Indonesia ingin bersih, jika partai politiknya bersih."Maka, sebanyak apapun partai politik yang terus bermunculan, jika tidak mengarah baik para kader yang dipatronkan akan menjadi percuma. Partai politik seharusnya menjadi guru yang lebih baik dan lebih nyata dari pelajaran sekolah atau mata kuliah dalam mengamalkan politik apik pada masyarakat.Â