PKI, DI/TII dan segala bentuk ideologis fasis lainnya mencoba menyembelih Garuda Pancasila yang sedang mengepakkan sayapnya untuk terkapar pada revolusi yang ingin mereka gantikan. Orde baru pun mencoba dengan gaya lain, menjadikan Pancasila sebagai sesuatu yang berhasil diselamatkan. Mencoba memberi ruang pikat dukungannya pada Pancasila hingga adanya penataran P4. Tapi pada akhirnya menjadi sebuah kekosongan di balik rezim yang ingin dibangun dalam misteri.
Chemistrinya... kebebasan pers atau kebebasan berpendapat hanya menjadi bagian tabu, hanya mengganggu kekuasaan yang sedang berjalan. Suara rakyat hanya berada pada pengeluk-elukan semata. Persatuan yang dikumandangkan tertampuk pada militansi keamanan dan kolaborasi pembangunan negara yang terkongsi dalam aliansi rezim. Era Reformasi kemudian mencoba memecah kebuntuan, tapi tetap yang ada malah menjadi kehantuan. Di mana kebebasan pers dan berpendapat menjadi ladang hoax yang semakin subur menyembur. Hingga akhirnya intoleransi terdampak mencuat sebagai pemecah persatuan. Beginikah kiranya, sila ketiga berhikayat?
Dalam berbagai rintangan yang dihadapi, beliau tetap mengedepankan kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Di mana dalam setiap negosiasi dan konferensi mewakili suara rakyat untuk keberadaan negara Indonesia. Dalam berbagai pembangunan pondasi pemerintahan, beliau mencoba mencari dan menemukan sistem dan tatanan pemerintahan yang tepat didasari sila keempat pancasila hingga akhirya tersungkur oleh rezim orde baru.Sebelum akhirnya, beliau mencoba mempersatukan Irian Barat pada melalui kebijakan Trikoranya disertai Pepera untuk permusyawaratan pada masyarakat Irian Barat.
Orde baru menganulir lain, kerakyatan yang dipimpinnya pada kebijaksanaan yang tertutup. Permusyawaratan / perwakilan dijabarkan pada rezimnya semata, perwakilan rakyat pun tidak sepenuhnya sebagai ruang aspirasi yang bersahaja. 32 tahun lamanya, hikmah dari kebijaksanaan dalam permusyaratan / perwakilan menjadi autisme masyarakat yang tiada berharap lagi pada kebenaran.Sekian lama mereka terhenyak dan terbungkam. Hingga era reformasi mencoba membangun kembali kepemimpinan dalam kebijaksanaan permusyarawaratan / perwakilan, dari masa transisi kepemimpinan B.J Habibie dan Gus Dur hingga pada era Jokowi ini.
Mosi tidak percaya perwakilan rakyat yang bersemayam di orde baru sekian lamanya terpatahkan dan tidak terkontribusi dengan baik. Seolah pada era reformasi kini menjadi ajang balas dendam untuk tidak akur dengan pemerintahan yang selama orde baru mengekangnya, kini mereka yang coba menjadi kekangnya. Pada akhirnya hanya berada pada lingkaran setan, politisasi saling menjatuhkan. Lalu mau di bawa ke mana kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan? Â Beginikah kiranya, sila keempat berhikayat?
Lalu apa jadinya guna payung itu yang terbalik? Hanya semakin aneh bin rusak pada fungsi yang tidak sesuai kan? Payung hukum ini hanya menjadi kebasahan bagi rakyat jelata atau korban sebenarnya yang mencoba berharap pada guna payung itu. Payung hukum itu menampung air mata dari atas. Tapi jika rentan dan jebol, imbasnya ke bawah pula yang semakin bertambah apesnya lini bawah. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Payung hukum itu pada akhirnya hanya menjadi tadah basah yang sah atau tidak sah?
Mungkin garis keras sosial masa kolonial masih membekas dalam pada generasi-generasi pribumi yang memaknai kemerdekaan dengan cara yang berbeda. Di mana egosentris dan ambisius meraja rela tak terbendung tidak terpuaskan dengan kemerdekaan yang diraih dan dibangun oleh jalur Soekarno-Hatta berujung pada pemberontakan. Ideologi Pancasila seolah masih belum menyatukan hati mereka membangun Indonesia pada keadilan sosial. Hal ini seolah terulang kembali dari masa Majapahit, di mana kesatuan kuat telah teruntuhkan oleh kepentingan kekuasaan pada alasan keadilan sosial yang tidak beradab. Pada akhirnya, semuanya hanya menjadi sembab. Di mana sudah tidak ada lagi keadilan sosial yang kuat yang sudah terbangun dan tersegani pada tangan dingin Majapahit. Hingga kolonial menerjang pun menjadi mati, keadilan sosial diserahkan begitu saja...hanya untuk kekuasaan...
Orde baru pun tak lebih meneruskan hal itu dengan cara yang modern ibarat tukang sulap. Dalam sekejap, ilmu sulapnya menjadikan ilusi G30S/PKI sebagai pijakan mereka dalam mensosialisasi keadilan sosial yang terselubung. Pancasila sebagai kekosongan belaka untuk menarik simpati. Penataran P4 pun tak lebih dari kehampaan yang tidak beruang jelas dan berbawa-laksana Pancasila sebagai pengamalan yang sesungguhnya. Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Yang salah jadi benar, yang benar jadi salah.Yang jelata yang terpenjara, yang berstrata yang bersahaja. Era Reformasi pun masih belum terhapus noda itu, ibarat noda tinta permanen pada pakaian... meski dibayclin atau pakai pemutih sejenisnya pun tidak hilang. Begitu pula budaya KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) yang sebagaimana sudah mengakar kuat dan meregenerasi tunas-tunasnya bak cendawan di musim hujan. Beginikah kira, sila kelima berhikayat?