Sudah hampir dua puluh tahun, negara kita tergerak dalam perjalanan gubahan amanat reformasi. Meruntuhkan ditaktorisasi kekuasaan pada tirani birokrasi, menjadikan sesungguhnya apa yang disebut sebagai kemerdekaan yang berdemokrasi dan bermartabat.Tapi, hingga kini kumandang reformasi masih belum mendapat jawabannya untuk mewujudkan sebagaimana biduk Pancasila mendasari pondasi negara Indonesia.Di mana suara rakyat kini ditumpukan dan diharapkan pada para wakilnya yang terhormat.
Dengan sistemasi reformasi yang lebih lega dibandingkan orde baru yang sempat membungkam suara rakyat, wakil rakyat dan rakyat kini tetap tidak tersambungkan aspirasi pada reformasi. Di mana seharusnya reformasi menjadi keterbukaan pada kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan. Lalu,apa yang sekiranya kini terbangun dari keruntuhan orde baru menuju reformasi yang demokratif dengan Pancasila?
Pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita masih mendapati bahkan kini terkesan diambisiuskan pada polemik in-toleransi keagamaan. Di mana mayorisasi kepentingan bergerak pada massa yang mayoritas pula dari religiusitas sebagai tameng menghalalkan segala cara. Nilai Bhinneka dicorengkan begitu saja, dari darah-darah mulia yang sudah tertumpah untuk menebus nilai tersebut. Di balik semua ini, reformasi yang dibangun pada sisa-sisa nafas orde baru menjadi kekuasaan yang maha esa. Bagai para awak kapal yang melompat dari kapal lama menuju kapal baru dalam mengkoreh-koreh perubahan sistemasi politik pada era reformasi yang diarunginya.
Ya, di mana pada era sebelumnya sisi ini sebagai penghangatan tirani birokratif dibentengi dwi fungsi militerisasi sebagai progresnya menjalankan manifestasi politik untuk para vampir menyembunyikan taringnya. Memainkan suatu dogma politik kuno zaman kerajaan, bahwa selama ia masih hidup, hanya ialah yang layak dan berkuasa, kini dan sepanjang masa...amin. Semua massa harus mendukung hal itu sebagai kartu representasinya untuk pembangunan bersama.
Kemudian pada era kali ini berbalik sebagai garda terdepan untuk taring itu mencabik dan menghisap lawan politiknya sebagai isu dan problema yang menghambat dan merusak kinerja pembangunan untuk tersimpangkan. Dengan menebar kepongahan yang halus dan berbulan madu di balik krusial mengintervensi pergerakan yang tidak beradab dengan agama sebagai mainan politik untuk tertahklukan segala cara. Beginikah kiranya, sila pertama berhikayat?
Di zaman kolonial pula menjadi saksi pada kemanusiaan yang terbedil dan berazab. Karena antara penjajah dan yang terjajah, terikrarkan kesenjangan sosial yang luar binasa. Di mana digdaya zaman kerajaan pun tidak menghalau kedatangan era ini dari kekuasaannya. Sehingga, apa daya kekuasaan itu runtuh satu demi satu, hingga tersisa seperti pada kerajaan Mataram yang akhirnya pun terbelah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta akibat politik adu domba. Karena sejarah memberi angin segar pada kolonial, bahwa hampir semua riwayat keruntuhan kerajaan di rumpun melayu sebagian besar oleh politik adu domba baik oleh bangsa lain maupun antar bangsanya sendiri.
Hal ini terbukti selama kurang lebih 3,5 abad kolonial bercokol di bumi Nusantara dengan politik devide et empera-nya. Hal itu pula tak beranjak di mana kemerdekaan sudah dikumandangkan sampai orde baru mengambil alih kekuasaan dengan G 30S / PKI sebagai selubung devide et empera-nya. Tiada henti kemanusiaan yang terbedil dan terazab pada penembakan misterius (PETRUS) dan kematian misterius (MATIUS) untuk mengkokohkan tirani-tirani yang terselubung, di mana swasembada pangan di lumbung hanya menjadi kembung. Era reformasi pun akhirnya menguak, suara-suara rakyat yang terbungkam menjadi muak. Hingga masih terkonak mendapati seperti para aktivis HAM (Hak Asasi Manusia) yang terbunuh, proses peradilan yang berkerucut terbalik, berprosesi menikam ke bawah dan tumpul ke atas. Di mana payung hukum hanya untuk kelas atas. Malahan kini jadi mainan tengkulak, mafia-mafia yang selalu ingin melawak. Sesalilah menjadi rakyat dalam garis kemiskinan. Beginikah kiranya, sila kedua berhikayat?
Lahirnya Pancasila pun mencoba menjawab, di mana Indonesia adalah negara kesatuan, Indonesia adalah keberagaman untuk kebersamaan di garis nasib yang sama sebagai suku bangsa yang terjajah. Setidaknya orde lama pun mencoba membangun dari asasnya membentuk suatu negara modern yang berdaulat. Berbagai rintangan dan hambatan dilalui dengan agresi militer Belanda yang tiada henti, yang mirisnya ditengah kegetingan itu...darah daging sendiri masih mencoba merobek persatuan yang dibangun hanya demi ambisius kesempatan dalam kesempitan semata pada suatu pemberontakkan.Â