Mohon tunggu...
Franka Semin
Franka Semin Mohon Tunggu... -

Pengamat fashion, part-time writer, full-time dreamer living in Istanbul

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mari Repot-repot Membangun Fashion Indonesia

13 Maret 2014   18:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingat, pertama kali saya mendapat tugas meliput sebuah fashion show. Waktu itu saya baru saja pindah dari majalah anak ke sebuah media wanita ternama. Awalnya saya terkaget-kaget, biasa menulis tentang animasi dan komik lalu diminta menulis tentang fashion. Well, saya memang suka dengan fashion, terutama berhubungan dengan styling- mendandani diri sendiri dan orang lain, namun ternyata menulis fashion show adalah sesuatu yang amat sangat berbeda. Deretan model yang menampilkan berbagai busana pun, mendadak tidak terlihat sebagai sesuatu yang mudah dicerna. Saya bingung, apa yang harus saya tulis? Warnanya kah? Panjang-pendeknya kah? Entah... Namun saya harus bertanya pada siapa? Mengaku tidak paham pada bos, gengsi. Lagipula sebagai jurnalis yang berhubungan dengan deadline, saya tidak punya waktu untuk mengeluh tidak paham. Sesuatu yang saya lihat, harus ditulis hari ini juga. Lalu saya mencoba menulis apa yang saya paham, namun ternyata itu tidak cukup. Tulisan saya bukan menghasilkan liputan, namun malah menjadi opini pribadi. Untuk menulis artikel bermuatan opini yang kuat, tentunya saya harus membekali diri dengan pengetahuan yang cukup. Saya harus menjadi pengamat dan penikmat yang rutin. Bagaimana bisa saya menulis bahwa yang ini buruk tanpa mengetahui dengan baik bidang yang saya tulis? Jujur saya sempat merasa down, saya merasa menyesatkan orang lain dengan tulisan saya. Hati nurani saya berkata, "Franka, kamu harus belajar lebih banyak,". Ternyata keresahan saya tidak hanya dialami oleh saya sendiri. Saya bertemu dengan berbagai jurnalis yang juga memiliki masalah yang sama. Ketahuilah tidak semua jurnalis mendapat tempat "permanen" untuk menulis rubrik fashion untuk sekian lama. Sahabat-sahabat saya yang bekerja di media harian atau online seringkali mendapat giliran "rolling". Bulan ini menulis politik, bulan besok menulis fashion. Bulan ini meliput hiburan, bulan besok meliput fashion. Mereka mengeluh, berkata bahwa mereka jujur menemui kesulitan untuk menulis hal yang baru dalam waktu singkat. Bersama mereka, saya sempat merencanakan meminta coaching fashion dari desainer senior agar kami lebih "melek fashion" dan bisa menulis lebih baik. Sayangnya hal ini terwujud hanya satu kali, karena kami semua sangat sibuk karena jadwal deadline yang berbeda. Sulit bagi kami untuk berkumpul dan belajar bersama secara rutin. Lalu saya belajar sendiri; menyimak artikel-artikel fashion yang dibuat oleh para jurnalis senior, bertukar pikiran dengan desainer, kreator, komunitas, hingga akhirnya saya mendapatkan "The Big Picture" bagaimana cara menulis artikel fashion dengan baik. Pelan tapi pasti saya mendapatkan feedback yang baik dari banyak orang. Begitu juga yang terjadi dengan teman-teman jurnalis yang saya kenal. Seorang teman yang belajar bersama saya, suatu hari meringis ketika berkata bahwa bulan depan ia akan ditempatkan di desk kesehatan. Ia bilang, "Saya baru saja paham tentang fashion, sekarang saya sudah harus pindah lagi,". Saya prihatin dan ikut meringis, dalam hati saya berkata, "Hilang satu lagi penulis fashion yang berkualitas,". Namun ini realita yang harus dihadapi. Saya memang kini tidak lagi tinggal di Indonesia, saya tidak tahu apakah teman-teman jurnalis yang baru juga memiliki semangat belajar yang sama seperti teman-teman saya dahulu. Saya harap demikian, karena peranan media sangat besar dalam membangun bangsa. Sebagai corong informasi- media berperan sebagai penyemangat, pendorong dan penyuara gerakan-gerakan yang positif untuk menciptakan scene fashion yang lebih baik. Media memberi kesempatan, mendorong pelaku fashion yang baru untuk berani berkreasi dan memotivasi mereka secara konstruktif untuk berkembang dan berkarya lebih baik lagi. Kritik terkadang diperlukan, namun tetap dalam koridor yang konstruktif. Karena sesungguhnya seseorang yang mencoba untuk melakukan hal yang positif memang layak mendapatkan dorongan dan motivasi. Layaknya bayi yang sedang belajar berjalan, dukungan yang positif dan inspiratif akan membuat sang bayi mampu berjalan lebih cepat. Satu hal yang saya sadari, industri fashion di negeri ini seperti tersekat-sekat. Banyak komunitas yang memiliki potensi dan prestasinya sendiri-sendiri namun terlihat seperti tidak berbaur dengan komunitas yang lain. Lalu saya berpikir, seandainya mereka semua bergabung untuk menghasilkan sesuatu bagi negara ini- seharusnya fashion Indonesia bisa melaju lebih kencang. Di mata saya yang berada di posisi netral, sebagai pewarta sekaligus penikmat yang berhubungan dengan banyak orang/komunitas- saya merasa sebenarnya tidak ada pihak yang lebih hebat dari yang lain. Fashion Indonesia dengan "seribu lapisan" selera masyarakatnya; elegan, extravaganza, minimalis, maksimalis, glamour, etnik, kasual, playful hingga edgy- memiliki keunggulan dan pasarnya masing-masing. Banyak sekali desainer/ kreator fashion yang cenderung "tidak terdengar", sebenarnya memiliki prestasi luar biasa yang layak ditiru. Sebaliknya, banyak pula yang terlihat hebat di luar, namun cenderung lemah di dalam. Kalau saja semua pihak bergandengan tangan; menambah apa yang kurang dan membagi apa yang lebih, tentunya scene fashion Indonesia akan terasa semakin kondusif. Lalu saya melihat Indonesia Fashion Week. Bagi saya, Indonesia Fashion Week menawarkan udara yang berbeda di industri fashion Indonesia. Indonesia Fashion Week tampil menawarkan scene fashion Indonesia yang lebih ramah dan membumi. Event ini tidak menampilkan fashion sebagai sesuatu yang diciptakan hanya untuk "golongan eksklusif" saja, namun bagi semua orang. Indonesia Fashion Week bagaikan bursa gaya yang menampilkan semua selera masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Berbagai produk dengan beragam segmen tampil di sini. Sehingga kesan "fashion" yang selama ini tidak terjangkau bagi sebagian orang, kini perlahan pudar. Siapapun bisa datang, menikmati dan membeli produk yang sesuai dengan dirinya karena fashion adalah milik semua orang dari segala lapisan. Inilah wajah Indonesia yang sebenarnya. Indonesia Fashion Week berusaha keras menyatukan semua pihak, baik yang berhubungan langsung dengan fashion maupun tidak; desainer tua/muda/senior/pendatang baru, ukm, asosiasi, pemerintah, bisnis, sekolah mode hingga media- semua tumplek blek menjadi satu berusaha membangun industri fashion bersama-sama. Di tahun 2014 ini, aura kolaborasinya begitu terasa. Sekat-sekat itu perlahan runtuh. Memang, event ini masih jauh dari sempurna, namun ini adalah langkah awal yang terasa begitu positif. Dengan begitu banyaknya masalah yang menerpa bangsa, dunia fashion bagaikan setitik cahaya yang mampu menjadikan Indonesia tampak bersinar saat disandingkan dengan negara lain. Kita sangat membutuhkan siapapun yang mau repot-repot melakukan sesuatu untuk bangsa ini, bukan semata hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Karena melakukan sesuatu jauh lebih baik daripada diam. Maju terus fashion Indonesia! Franka SoeriaNatanegara Semin Pengamat Fashion berdomisili di Turki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun