Selera adalah sesuatu yang abstrak, sesuatu yang hampir tidak ada tolak ukurnya. Sesuatu yang terlihat "hip" di suatu era, mungkin akan terlihat "usang" di suatu masa. Begitu juga dengan fashion. Andaikan fashion adalah sebuah ilmu eksak, mungkin 1+1 adalah 2. Namun fashion memiliki variabel yang begitu beragam, sehingga kadang hasil pertambahan itu adalah 2, 4, 100 bahkan hingga tak terhitung lagi. Coba bandingkan selera masyarakat di sekeliling kita, selera fashion warga Jakarta Selatan misalnya, terlihat berbeda dengan masyarakat yang menetap di Jakarta Utara. Seorang desainer senior pernah bercerita bahwa ia menjual brandnya dengan style yang berbeda untuk dua area yang berbeda ini; satu minimalis, satu lebih penuh detail dan berani. Melanglang pulalah ke Medan, dimana masyarakat setempat cenderung menyukai gaya extravaganza atau warna yang berani. Coba bawa gaya extravaganza ini ke negara lain, sebutlah Turki- negara yang kini saya tinggali. Turki yang mayoritas warganya menyukai gaya elegan, pastinya agak kesulitan menerima gaya ini. Budaya bangsanya yang cenderung mendorong mereka bergaya seragam, membuat mereka hampir tidak mungkin mencoba gaya lain yang berbeda dari kebiasaan. Fashion adalah variabel tak bertepi. Lalu apakah Indonesia- negara yang memiliki keberagaman budaya, harus memiliki selera yang seragam? Sebagai sebuah event nasional, Indonesia Fashion Week tentunya harus menghadirkan keberagaman Indonesia. Sebuah "pasar gaya" yang membuat pengunjungnya dapat memilih gaya yang sesuai seleranya masing-masing. Menjadi sebuah tindakan egois ketika Indonesia berusaha "menseragamkan" selera. Siapa yang bisa menjamin bahwa selera yang satu jauh lebih baik dari selera yang lain? Siapa pula yang bisa menjamin bahwa selera yang satu pasti lebih menjual dari selera satunya? Dengan kata lain, bisakah kita menyenangkan pasar yang beragam hanya dengan satu pilihan? Berbeda dengan event fashion lainnya, di Indonesia Fashion Week, fashion bukanlah milik segelintir orang, namun milik semua masyarakat Indonesia. Lalu bagaimana Indonesia bisa muncul dengan ciri khas kalau selera yang tampil begitu beragam? jawabannya adalah melalui tren milik sendiri dan memperbaiki kualitas produk. Ide menyeragamkan selera fashion Indonesia adalah ide yang tidak bijaksana. Yang Indonesia Fashion Week lakukan adalah menawarkan konsep tren Indonesia. Tren inilah yang dapat diterjemahkan ke dalam seribu terjemahan selera, yang nantinya masuk ke segala lapisan masyarakat dan menjadi ciri fashion Indonesia. Konsep tren dalam bentuk mentahnya telah tampil dalam slot fashion show khusus Indonesia Fashion Week 2014 bertajuk Re-Habitat yang dipersembahkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI dan didukung oleh berbagai sekolah mode Indonesia. Dari konsep ini, produsen/kreator fashion dapat bebas mengadopsinya dengan seleranya masing-masing. Indonesia Fashion Week berharap para produsen/kreator fashion bisa mengadopsi konsep tren yang diajukan bulan Februari lalu dan menampilkannya di Indonesia Fashion Week 2015 mendatang. Membangun industri fashion Indonesia memang tidak bisa dicapai dalam satu malam, perlu langkah-langkah yang berkesinambungan dan membutuhkan dukungan dan komitmen berbagai pihak. Paling tidak Indonesia Fashion Week telah menunjukan langkah yang signifikan di tahun 2014 ini yaitu menggabungkan segala komunitas fashion yang selama ini terkotak-kotak. Fashion Indonesia sudah saatnya maju bersama-sama, bergandengan tangan membentuk industri dan suasana yang kondusif, karena tujuan yang dituju adalah satu: Fashion Indonesia maju! Franka SoeriaNatanegara Semin Pengamat Fashion berdomisili di Turki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H