Mohon tunggu...
Franka Semin
Franka Semin Mohon Tunggu... -

Pengamat fashion, part-time writer, full-time dreamer living in Istanbul

Selanjutnya

Tutup

Catatan

MENYELAMATKAN BRAND LOKAL

19 Maret 2014   01:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:46 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini di dunia fashion, kita sering sekali mendengar kalimat, "brand lokal". Semangat "kelokalan" sedang digiatkan di scene fashion dalam negeri. Banyak orang yang bertanya, "brand lokal seperti apa yang dimaksud?" Menurut Blueprint Ekonomi Kreatif Fashion yang diluncurkan di Indonesia Fashion Week tahun lalu, brand lokal yang digadang-gadang untuk masuk ke pasar internasional adalah brand lokal yang mengusung ready to wear; baik busana kasual maupun pesta. Sebelum melangkah lebih jauh, saya berusaha memakai kacamata netral dan mengamati pasar dalam negeri terlebih dahulu. Isi Lemari Saya Hampir Semua Zar* Ketika kita berkunjung ke mal lokal, kita bisa menemukan deretan retail shop busana ready to wear berlabel internasional mendominasi, sebut saja Zar*, Mang* atau H&*. Tiga brand ini termasuk brand-brand favorit yang selalu menjadi incaran konsumen Indonesia. Saya pribadi sebagai salah satu shopaholic mengaku bahwa toko-toko ini adalah salah satu tempat pemberhentian wajib bagi saya ketika berkunjung ke mal. Tidak bisa disalahkan, mereka dengan cepat mengadopsi tren dunia yang sedang hip dan menerjemahkannya ke dalam busana-busana yang "terjangkau". Well, terjangkau apabila dibandingkan dengan designer's brand yang harganya berdigit-digit. Ketika masuk ke toko-toko itu pun, saya disajikan pilihan tiada berbatas. Ketika saya mencari celana, ada puluhan model serta warna yang bisa saya pilih. Begitu juga ketika saya mencari atasan, dress, rok hingga aksesori. Mereka juga sering sekali mengadakan sale. Bukan salah saya kalau toko-toko ini tampak menarik luar biasa. Jujur, mayoritas wardrobe saya dipenuhi dengan brand Zar*. Sekali lagi, ini bukan salah saya. Brand Lokal? Seiringnya waktu, belakangan saya sadari bahwa ternyata banyak orang berpendapat sama. Busana yang saya beli entah kenapa jadi banyak "kembarannya". Saya tidak lagi merasa eksklusif. Saya pun berusaha mencari pilihan brand yang lain, lalu pikiran saya tertuju pada kalimat, "brand lokal". Pencarian saya pun dimulai. Saya memiliki banyak teman desainer dari yang senior hingga yang junior. Saya ingat ketika saya mengunjungi butik ready to wear salah satu desainer muda yang kerap diliput oleh media. Terlihat betul bahwa ia berusaha memberikan banyak varian desain untuk butik mungilnya. Desainnya bagus dan edgy, lalu saya melirik harganya, "Tidak murah," pikir saya. Namun saya meninggalkan butik itu dengan sebuah celana berdesain unik. Lalu saya mengunjungi butik desainer lainnya, dan mendapatkan kenyataan bahwa harga-harga yang mereka tawarkan sedikit lebih tinggi dari brand favorit saya. Butik mereka pun cenderung sepi. Kenapa? Saya pikir, seharusnya mereka bisa menjual produknya dengan harga yang lebih kompetitif dari pasar yang sudah ada. Rasa penasaran saya bertambah. Saya ingin tahu lebih banyak. Rahasia Brand Murah Suatu hari seseorang menawarkan saya untuk mengelola sebuah brand ready to wear kelas menengah sebagai Chief Creative Officer. Tawaran itu saya terima, saya pun terjun ke dunia produksi. Saya kemudian merasakan bagaimana susahnya menjual produk lokal di negeri sendiri. Masyarakat menuntut banyak varian, kualitas mumpuni namun dengan harga yang terjangkau. Masalahnya, untuk menciptakan produk murah banyak sekali faktor yang harus diperhatikan. Ongkos produksi hanya bisa ditekan ketika sebuah produk dibuat dalam kuantitas besar, termasuk juga pembelian material seperti tekstil. Menciptakan sebuah brand artinya harus siap menyediakan banyak varian. Satu jenis varian diproduksi dalam jumlah banyak ini artinya banyak varian= besar modalnya. Untuk pemain besar, hal ini memang bukan masalah. Namun untuk brand yang baru berkembang, hal ini adalah kendala. Sebelum saya bergabung, brand ini telah melakukan kesalahan yaitu memproduksi sedikit model dengan kuantitas yang sangat banyak demi mengejar harga murah. Akibatnya mereka kesulitan menjual produk karena masyarakat menuntut pilihan desain yang lain. Kebetulan di dekat toko kami ada toko lain yang menjual produk bersegmen sama. Toko yang berinterior menarik itu milik seorang selebriti. Saya melirik produknya dan terkejut, busana yang ia jual setengah harga lebih murah dari produk-produk saya, variannya banyak namun kuantitas sedikit. Kalau dihitung-hitung rasanya mustahil, modal produksinya saja sudah berapa- belum lagi sewa tokonya. Bagaimana mungkin ia bisa menjual semurah itu? Seseorang berceloteh, "Coba jalan-jalan ke Tanah Abang.. kamu pasti dapat jawabannya," Awalnya saya pikir, ia akan mengarahkan saya ke tempat jual tekstil yang murah meriah atau penjahit berkualitas namun super terjangkau. Namun tidak. Saya malah berhenti di depan toko busana grosiran dan menemukan produk-produk yang rasanya saya kenal. Ya, ternyata toko itu tidak menjual busana karya sendiri, namun busana jadi yang digrosir di Tanah Abang. Satu celana bermotif edgy made in China itu dijual di situ dengan harga Rp.30.000/buah apabila dibeli satu lusin. Luar biasa murahnya. Sebagai konsumen, tentu saya akan berteriak "Hore!" Namun sebagai produsen dan penikmat mode, hati nurani saya berteriak, "Bagaimana bisa barang orang lain diberi label seolah-olah desain sendiri? Lalu di mana sisi originalnya kalau begini?". Saya prihatin. Saya mencoba informasi lain. Lalu saya mendapatkan fakta bahwa banyak juga produk murah yang dibeli dari China dijual kembali dengan label brand yang lain tanpa merubah desainnya sama sekali. Jujur, saya kemudian hilang simpati dengan brand lokal berharga super murah. Mengamati Turki Untuk menghasilkan brand lokal original berkualitas dengan harga murah, seseorang harus memproduksinya dengan kuantitas besar. Yang tentunya akan menimbulkan PR berikutnya yaitu kemana ia akan menyalurkan produknya? Di negara yang saya tinggali sekarang yaitu Turki, kita bisa dengan mudah menemukan berbagai produk ready to wear lokal sekelas Zar* namun dengan harga yang lebih terjangkau. Kualitas dan tampilan visual mereka sangat mumpuni. Hebatnya, brand-brand lokal ini selalu membuka tokonya di dekat brand-brand internasional. Terlihat betapa mereka dengan sengaja melakukan hal ini. Kemanapun saya melangkah, saya menemukan deretan brand made in Turkey ini termasuk di mal-mal besar. Lalu saya berjalan-jalan di area Fatih-Istanbul. Ini adalah area pertokoan tempat busana muslim dan busana pesta dijual. Di area ini busana mewah berkualitas dijual dengan harga cukup terjangkau (rata-rata dibawah Rp. 1,5 juta). Well, deretan busana ini biasanya dibandrol dengan harga dua hingga tiga kali lipatnya di Indonesia. Namun ternyata busana ini lagi-lagi diproduksi dalam kuantitas masal. Saya bisa menemukan desain yang sama di beberapa toko sekaligus, termasuk di luar area Fatih. Evening/cocktail dress di Turki diperlakukan sebagai ready to wear yang terjangkau. Busana juga dijual di Pazar atau pasar kaget di Turki. Desainnya elegan dan berkualitas. Saya langsung paham bahwa produk-produk ini juga diproduksi secara masal karena saya hampir menemukan produk yang sama di Pazar manapun yang saya kunjungi. Bukan, produk yang mereka jual bukanlah produk China. Begitu masuk akal ketika brand Turki dapat menjual produknya dengan harga murah, karena mereka memproduksinya dalam kuantitas besar dan memiliki saluran distribusi yang luar biasa. Hal ini menjadi kendala bagi negara lain yang ingin memasuki pasar fashion Turki. Jangan Sampai Lari ke China! Solusi apa yang bisa diberikan untuk brand Indonesia yang baru berkembang? salah satunya sinergi produksi dan distribusi. Saya sudah melihat usaha pihak swasta untuk membantu mendistribusikan brand Indonesia, salah satunya lewat departemen store/ toko online, concept store atau pojokan karya lokal di departemen store ternama. Namun akan lebih baik lagi kalau pemerintah turut mendukung usaha ini dengan mengharuskan pihak mal untuk membuka area toko lokal yang menampung brand-brand lokal. Tentunya dengan potongan konsinyasi yang terjangkau (atau bahkan gratis) sehingga harga jual dapat ditekan.  Dari sisi produksi, sudah saatnya merengkuh garmen, konveksi hingga perusahaan tekstil untuk mendukung kemajuan brand-brand lokal baru dengan menawarkan harga yang lebih kompetitif. Saya rasa akan sangat signifikan hasilnya kalau semua duduk bersama dan mencari solusi untuk permasalahan ini. Bisa juga dibuat direktori baik offline maupun online yang memuat informasi tentang garmen/konveksi/pengrajin/perusahaan tekstil yang terjangkau dan berkualitas yang akan sangat berguna bagi para desainer dan pemilik brand. Sebab kalau semua brand mencari produknya ke China, maka kita semua yang akan merasakan getahnya. Di masa mendatang, label Lokal pun hanya menjadi tempelan semata. Jangan sampai terjadi! Franka SoeriaNatanegara Semin Pengamat Fashion berdomisili di Turki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun