“Apo ka makan, Uda ?”
“jo randang ciek !”.
Kira-kira itu percakapan singkat kalau kita masuk ke rumah makan di tanah minangkabau. Ya, rendang atau randang merupakan pilihan yang tidak keliru ketika makan di warung Padang. Dagingnya yang sedikit keras tetapi tidak alot, terasa nikmat dengan bumbu yang meresap sampai ke dagingnya. Rasanya juga pas di lidah orang Indonesia pada umumnya.
Menurut saya, makan rendang di perantauan dan di tanah minangkabau itu sendiri ada perbedaan. Kalau di perantauan, pilihan makan di warung Padang biasanya karena berbagai alasan seperti biar cepat atau sudah bingung tidak tahu mau makan apa lagi atau mau murah tetapi enak. Tetapi lain halnya makan di tanah aslinya. Di sini sudah tidak ada lagi warung Padang. Rata-rata warung makan pasti menjual rendang.
Kebetulan bulan lalu saya pulang kampung ke Sumatera Barat. Wisata kuliner menjadi hal yang wajib dilakukan. Lupakan dulu diet, nanti disambung lagi. Makan rendang di tengah sawah dan angin sepoi-sepoi rasanya “sesuatu bangat-lah”. Makan juga tidak terburu-buru bahkan sempat berpikir, "Kok, bisa seenak ini ya ?" Bumbu rendangnya bisa masuk sampai ke helaian daging di dalamnya. Sabana lamak.
Rendang pernah menjadi makanan terenak di dunia dari versi CNN. Memang enak. Tetapi di sini saya tidak ingin membahas bagaimana cara memasak rendang. Saya masih awam dalam hal masak-memasak. Saya hanya bisa membuat makanan sederhana saja, itupun kalau tidak malas. Tetapi yang ingin saya share di sini adalah filosofi yang ada di dalam rendang itu sendiri.
Bikin rendang bukan seperti buat masakan lain yang hanya selesai dalam hitungan menit. Tetapi memasak rendang bisa berjam-jam. Coba bayangkan siapa yang sanggup berdiri depan kompor api sampai berjam-jam? Yang pasti bukan saya. Hanya orang-orang tertentu yang mempunyai kesabaran tinggi yang bisa memasak rendang. Ya, di situ ada nilai kesabaran. Nilai ini tercermin juga di dalam kehidupan sehari-hari orang minang.
Kalau ada persoalan di kampung, mereka tidak menyelesaikan sendiri, tetapi mereka berembuk dulu dan ini pasti butuh waktu untuk bisa menjadi kata mufakat. Dan nantinya akan dilakukan gotong royong jika dibutuhkan. Mereka cukup sabar dalam mengambil keputusan biar semua pihak tidak ada yang dirugikan. Contoh berikutnya adalah proses perkawinan. Ini juga memakan waktu yang lama, mulai dari proses persiapan hantaran sampai pembuatan rumah baru kalau dibutuhkan. Pembuatan rumah adat yang ada di minangkabau dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat setempat.
Nilai berikutnya adalah nilai kemandirian. Memasak rendang yang berjam-jam itu biasanya juga dilakukan seorang diri. Mulai dari memotong bahan sampai mengaduk-aduk santan menjadi rendang. Sebagai tip, semakin hitam rendangnya, maka semakin enak rendang itu. Bumbu sudah meresap sampai ke dalam daging. Tetapi kalau ada pertanyaan, apakah masih ada gizinya karena terlalu lama dimasak ? Nah, saya tidak tahu. Ya udah, toh makannya juga sekali-kali doang.
Kembali lagi ke nilai kemandirian. Memang “bundo kanduang” orang minang terkenal "sangat dan sangat" mandiri. Bayangkan saja, para lelaki di minangkabau sebagian besar sudah pergi merantau keluar daerah mencari nafkah. Yang tinggal di kampung hanyalah wanita-wanita minang. Dalam keadaan demikian, apakah mereka akan menjadi lemah ? Hmm, jauh dari kata lemah.
Mereka justru menjadi penjaga kampung sekaligus menjadi tonggak untuk berlanjutnya adat istiadat di daerah itu. Kalau bukan mereka, siapa lagi? Mereka tahu apa yang terbaik buat keluarga, masyarakat sekitar dan kampungnya. Ya, mereka harus menjalani dan melakukan semuanya sendiri. Tidak ada kata manja di tingkah lakunya. Yang ada hanya bekerja untuk keluarga. Sekali lagi perlu acungan jempol untuk wanita minang ini.
Nilai ketiga adalah keharmonisan dan keterbukaan. Bumbu untuk membuat daging rendang itu menjadi enak bukan hanya satu atau dua bumbu saja. Tetapi sangat banyak “printilan” bumbu-bumbu yang lainnya. Dan semuanya digodok jadi satu. Ya, itu juga tercermin dalam gaya kehidupan mereka sehari-hari.
Mereka sangat terbuka dalam hal beda pendapat. Dulu para lelaki minang banyak yang tinggal di surau (mesjid). Surau menjadi ramai terutama di malam hari. Di sana mereka terbiasa untuk berinteraksi dan berdiskusi satu sama lain mengenai berbagai macam tema. Sudah pasti dalam sebuah diskusi bakalan ada beda pendapat. Tidak ada masalah. Itu semua dilakukan untuk mencari jawaban yang terbaik. Istilahnya adalah “musyawarah untuk mufakat”.
RENDANG DAN ARSITEKTUR TRADISIONAL
Sebenarnya saya tidak terlalu kompeten dalam hal membahas masakan, karena saya hanya tahu bagaimana menghabiskan rendang itu. Tetapi karena ini ada kaitan dengan arsitektur tradisional minangkabau itu sendiri, akhirnya sedikit banyak saya mesti membahas masakan khas ini juga. Budaya setempat, termasuk masakan, ada kaitan erat dengan bangunan tradisional. Bahkan ada yang bilang, jika ingin mengetahui budaya suatu daerah, maka pergilah ke pasar tradisional dan lihat, apa yang mereka jual dan apa yang mereka makan. Dari situ bisa dibayangkan gaya hidup atau budaya setempat dan ini juga erat kaitannya dengan arsitektur / bangunan yang mereka dirikan.
Pasti semua kenal dengan bangunan tradisional minangkabau ini. Ciri khasnya adalah atap gonjong. Setidak-tidaknya pasti pernah melihat di depan rumah makan Padang. Ini sudah menjadi ciri khas minangkabau di daerah perantauan. Sebenarnya juga banyak pandangan mengenai makna dari atap gonjong ini. Ada yang bilang, itu menyerupai tanduk kerbau yang menyimbolkan kemakmuran daerah dan ada juga yang berpendapat bahwa atap gonjong itu menyerupai layar kapal, karena daerah minangkabau berada di daerah pesisir pantai.
Semakin saya mempelajari arsitektur tradisional minangkabau ini, maka semakin penasaran saya terhadap filosofi yang melekat di rumah gadang (rumah tradisional minangkabau) itu sendiri. Seperti diketahui, dinding rumah gadang itu bukan polos-polos bangat, tetapi penuh dengan ukiran dengan didominasi oleh warna merah dengan berbagai macam ragam motif. Sebagian besar adalah motif ulir tanaman dan tentu saja ini mempunyai makna tersendiri.
Tetapi ada satu motif yang cukup menarik perhatian saya, yaitu motif “itiak pulang patang”. (itik pulang petang). Kok, bisa ya kepikiran ada motif ini ? Padahal masyarakat minangkabau merupakan masyarakat dengan penganut agama Islam, yang notabene menghindari penggambaran makhluk hidup, terutama manusia dan hewan. Tetapi karena budaya yang ada di masyarakat, jadi motif atau ragam hias ini tetap dimunculkan sebagai ragam hias di dinding rumah gadang dengan simbol huruf “S” yang disusun secara berderetan, ibarat itik yang sedang jalan beriringan.
Kenapa ragam hias itu bisa muncul ? Menurut pandangan saya, ini tidak lepas dari filosofi daging rendang tadi, yaitu ada nilai kebersamaan dan kesabaran di dalam masyarakat minangkabau. Itik memang menjadi hewan ternak di sana. Tetapi coba perhatikan lagi, seekor itik tidak pernah jalan sendirian. Kemana-mana selalu bersama. Mereka selalu berjalan dalam kawanan yang cukup rapat.
Mereka juga "sabar" dalam berjalan. Mereka berjalan tidak dengan terburu-buru, padahal mereka bisa terbang kalau mau cepat, tetapi itu tidak mereka lakukan. Bahkan mereka bisa menjaga barisan tetap rapi dan teratur, tidak berantakan ke sana kemari. Ini menarik, bukan ? Untuk bisa hidup rukun di dalam masyarakat memang perlu memahami arti nilai kebersamaan. Dan tentu saja butuh kesabaran dalam berinteraksi dengan orang lain. Mereka cenderung menghindari konfik langsung. Bahkan untuk menegur seseorangpun, biasanya mereka suka menggunakan peribahasa atau kata ungkapan.
Kembali lagi ke motif "itiak pulang patang". Di sini ada frasa “pulang patang (pulang petang)”. Ini dapat diartikan, bahwa sebagai masyarakat perantau, tidak jarang akhirnya mereka akan pulang ke kampung halaman lagi. Setidak-tidaknya masih ada perhatian atau ikatan emosi terhadap kampungnya. Bahkan ada pepatah di sana yang bilang begini : “setinggi-tingginya bangau terbang, akan kembali ke pelimbahan juga - sejauh-jauhnya merantau, akhirnya kembali ke kampung halaman juga”.
Sebenarnya masih banyak filosofi yang bisa dikaji dari arsitektur minangkabau ini, tetapi mungkin di lain kesempatan akan kita lanjutkan lagi dan sebagai penutup saya ingin menyimpulkan bahwa di dalam sepotong daging rendang yang ada di warung makan Padang, sebenarnya juga ada nilai lain yaitu kesabaran dan kebersamaan. Ini juga terbawa secara tidak langsung ke dalam arsitektur tradisional minangkabau. Akhir kata, arsitektur tradisional merupakan cerminan budaya yang ada di masyarakat setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H